Cari Berita berita lama

Setelah Gempa Yogya Usai ... - 20/06/2006, 10:34 WIB - KOMPAS Cyber Media - Kesehatan

Selasa, 20 Juni 2006.


Setelah Gempa Yogya Usai ...

Jakarta, Kompas
Kirim Teman | Print Artikel
Berita Terkait:
- Korban Gempa: Ceria Datang, Trauma Hilang!
- Dokter Lokal, Rela Mati Bersama Pasien
- Tenaga Medis Asing Pascabencana
Sebelas hari pascagempa, selasar dan halaman rumah sakit di Daerah Istimewa Yogyakarta dan sekitarnya bersih kembali. Para korban sudah masuk bangsal, meski sebagian masih tidur di lantai.
Mereka yang masih dirawat umumnya adalah pasien patah tulang tertimpa bangunan. "Sampai Rabu (7/6), jumlah pasien ortopedi 237 orang," tutur satu-satunya ahli bedah ortopedi di Rumah Sakit dr Soeradji Tirtonegoro, Klaten, dr Romaniyanto SpBo FICS.
Tim dokter yang menjadi relawan juga berkurang banyak. Kondisi ini jauh berbeda dengan hari-hari pertama, ketika banyak dokter�atas nama lembaga maupun inisiatif pribadi�datang membantu.
Divisi Ortopedi dan Traumatologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah Sakit dr Cipto Mangunkusumo (FKUI/RSCM) Jakarta sebagai contoh, langsung mengirim 30 dokter. Semua mahasiswa yang sedang dimagangkan di berbagai rumah sakit dipanggil pulang. Biaya umumnya ditanggung RSCM, namun tak jarang juga keluar dari kantong sendiri.
"Saya langsung terbang dari Medan ke Jakarta. Ada yang dilanjutkan dengan naik pesawat ke Solo, Semarang, atau jalan darat," kata dr Andjar Bhawono, residen spesialisasi ortopedi di FKUI/RSCM yang magang di RS Adam Malik, Medan.
Merekalah yang pada hari-hari pertama langsung membantu menangani berbagai kasus patah tulang�korban utama gempa. "Empat hari pertama pascagempa, kami setiap hari pulang pukul 04.00-05.00 pagi karena terus-terusan mengoperasi pasien," kata dr Udy Heru, juga sedang spesialisasi ortopedi di FKUI/RSCM dan kebagian membantu Romaniyanto.
Masa kegawatdaruratan itu kini sudah lewat. Sebagian besar dokter ditarik pulang, meski sebagian lagi masih disiagakan. "Tim kami juga berkurang banyak. Sekarang dibuat bergiliran, 10 orang per minggu," ujar Andjar.
Saatnya evaluasi
Ketika jumlah pasien sudah amat berkurang, ketika semua dokter sudah menarik napas lega, tibalah saatnya mengevaluasi semua yang telah terjadi. Bagi para dokter Indonesia, topik juga menyangkut bantuan medis asing.
Ketika Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda dan Gubernur DI Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X menyatakan tidak perlu lagi bantuan relawan kesehatan karena sudah cukup, kontroversi muncul karena dianggap sombong. Sudah susah, dibantu tidak mau.
Namun, seperti yang diungkapkan Andjar dan Udy, persoalan memang tidak tampak dari luar. Kalau yang datang tim kesehatan yang siap membangun rumah sakit sendiri, tidak ada masalah karena mereka yang membawa peralatan lengkap terbukti sangat membantu di lapangan.
Masalah muncul ketika yang datang hanya dokternya dan "ditempelkan" di berbagai rumah sakit. Dengan segala keterbatasan sementara pasien berlimpah, mereka masih bersikeras menangani pasien dengan cara di negaranya.
Rombongan dokter dari RS Alexandria Singapura contohnya, meminta fasilitas traction table, meja khusus untuk menarik kaki pasien patah tulang, juga image intensifier yang banyak dipakai mengecek kondisi pascapenanganan.
"Dalam keadaan darurat peralatan itu tidak harus digunakan, apalagi jumlah pasien ratusan. Para dokter di Indonesia diajari bisa mengatasi keterbatasan fasilitas ini," kata dr Emir Soendoro SpBO (K) dari Divisi Ortopedi dan Traumatologi FKUI/RSCM.
Lain lagi para dokter Rusia, yang selalu berganti sarung tangan di setiap prosedur tindakan pada satu pasien. "Kalau satu pasien saja bisa ganti sarung tangan sepuluh kali, berapa yang dibutuhkan untuk menangani korban gempa saat itu," kata Andjar yang berbasis di RS dr Sardjito.
Ada pula dokter asing yang dalam sehari hanya merawat satu pasien karena mengikuti prosedur baku. "Kesimpulannya, banyak yang akhirnya malah merepotkan," papar Emir yang di hari-hari awal pascagempa membantu di RS Daerah Panembahan Senopati, Bantul.
Terbentur aturan
Masalah lain yang dihadapi para dokter adalah minimnya peralatan pendukung di lapangan. Seperti diketahui, pelat yang dibutuhkan dalam bedah ortopedi sangat beragam karena setiap tulang butuh pelat yang berbeda. Ketika gempa mengguncang, persediaan tentu terbatas.
Namun, terbentur peraturan dan ketakutan pada audit KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), implan yang dibutuhkan lambat datangnya. "Ternyata pengadaannya harus lewat tender. Lha, kalau ikut aturan para pasien itu bisa cacat atau meninggal karena tidak cepat ditangani," kata Emir.
Pascaoperasi, peralatan pendukung seperti tongkat, penyangga jalan, dan kursi roda juga tidak ada. Padahal, pasien harus segera belajar bergerak�agar minimal bisa melakukan sendiri kebutuhan dasarnya. "Bila terlalu banyak tiduran muncul dampak samping dari lecet-lecet sampai rusaknya fungsi organ tubuh," ungkapnya.
Kecuali di RS dr Soeradji Tirtonegoro, di berbagai rumah sakit yang merawat korban gempa tidak terlihat semua peralatan itu. Sebagian besar pasien ortopedi lebih banyak tergolek di tempat tidur.
"Kebetulan kami mendapat bantuan dari Uni Emirat Arab 250 pasang kruk dan 100 kursi roda," kata Prof dr Arif Faisal, Direktur RS dr Soeradji Tirtonegoro.
Maka Raharjo (34), yang masih terbaring di bangsal kelas II saat itu, berharap bisa mendapatkan kursi roda. Tulang paha atas kanannya patah dan tempurung lutut kiri retak. Pria yang baru sembilan hari menikah itu, harus kehilangan sang istri yang tertimpa cor beton.
Raharjo tidak separah Ny Istriyani (22), penduduk Jogonalan, Klaten, yang punggungnya patah tertimpa bangunan. Ketika ditemukan Romaniyanto dirawat di suatu rumah sakit swasta, Istriyani sama sekali lumpuh.
"Karena pada hari ketiga semua korban sudah tertangani dan masuk bangsal, saya meminta Bu Istriyani dipindahkan ke rumah sakit kami untuk dioperasi," katanya.
Pascaoperasi Ny Istriyani sudah bisa menggerakkan kakinya. "Begitu selesai dioperasi, pasien harus dimobilisasi. Ia harus belajar melakukan berbagai gerakan agar segera mandiri," kata Romaniyanto.
Harus fleksibel
Menurut Emir, ke depan pengelolaan bencana harus bisa mengantisipasi berbagai kerepotan kegawatdaruratan semacam ini. Pengambilan keputusan harus cepat, karena menyangkut live saving (menyelamatkan nyawa) dan limb saving (menyelamatkan anggota badan).
Bantuan tenaga medis yang sebenarnya mencukupi, menjadi tidak optimal karena peralatan tidak tersedia. Karena itu perlu komando yang jelas dan ada aturan yang cepat, luwes, dan mempermudah penanggulangan bencana.
"Indonesia berada di daerah yang rawan bencana. Gempa, tsunami, banjir, gunung meletus, akan selalu terjadi. Jangan sampai korban yang seharusnya bisa kita kembalikan kualitas hidupnya, kehilangan peluangnya gara-gara birokrasi yang kaku," kata Emir. (Agnes Aristiarini)

No comments:

Post a Comment