Cari Berita berita lama

Republika - Fenomena Band Indie Masihkah Idealis?

Senin, 4 September 2006.

Fenomena Band Indie Masihkah Idealis?






Empat major label atau yang lebih dikenal sebagai big four di Indonesia, yakni Warner, Universal, Sony BMG dan EMI.





Dalam sebuah diskusi, seorang remaja perempuan berujar gusar terhadap persepsi yang diberikan kepada band independen alias band indie. ''Buat gue, indie merupakan sikap perlawanan terhadap major label,'' kata Maya, perempuan remaja anggota band indie, yang langsung disambut tepuk tangan meriah oleh rekan-rekannya sesama penganut band indie. Band indie yang dimaksud Maya merupakan wadah untuk mengekspresikan diri dalam bermusik. Dengan kata lain, idealisme musik yang Maya anut bersama rekan-rekannya merupakan bentuk perlawanan terhadap komersialisasi musik yang telah dengan sengaja mengabaikan ekspresi hati. Dalam pandangan Maya, major label atau lebih ringkas disebut sebagai perusahaan rekaman besar biasanya hanya mengedepankan aspek komersial. ''Inilah yang sangat kami tentang,'' ujarnya, penuh semangat. Tapi sikap ekstrem Maya terhadap identitasnya sebagai personel band indie, ternyata tidak selamanya sepaham dengan para penganut aliran sejenis yang kini semakin m!
enjamur di Tanah Air. Gun Setiawan yang menjadi produser sekaligus pentolan dari band Oejoenk 8 justru terkesan lebih moderat dalam menilai paham band indie. Buat Gun, indie tak lepas dari sebuah situasi persaingan pasar. ''Di sini status indie hanyalah sebuah definisi secara pemilikan modal saja,'' katanya ketika meluncurkan album perdana bandnya di Jakarta pekan lalu. Terlepas dari perbedaan pandangan terhadap status band indie, keduanya hingga kini memang masih tetap tidak tergantung terhadap major label. Bahkan Gun mengaku kalaupun bandnya mendapat tawaran untuk masuk ke major label, terlebih dahulu harus ada kompromi terhadap aliran musik yang mereka usung. ''Ekspresi bermusik merupakan sikap, dan itu yang harus dipegang kalau ada major label yang tertarik kepada kami,'' tuturnya. Sementara itu meminjam terjemahan bebas dari ensiklopedia di situs, wikipedia, band indie memang lebih banyak dirujuk kepada seorang artis atau band yang tidak menjadi bagian dari budaya mu!
sik mainstream. Sedangkan menurut New Musical Express (NME), d!
efenisi
band indie lebih dideskripsikan bahwa mereka tidak memiliki jalinan bisnis dengan major label. NME memberi contoh empat major label atau yang lebih dikenal sebagai big four di Indonesia, yakni : Warner, Universal, Sony BMG dan EMI. Tapi beragam dan pandangan yang diberikan terhadap band indie tadi, pengamat musik Tanah Air, Bens Leo, justru memiliki penilaian tersendiri terhadap perkembangan aliran musik ini. Menurut Bens, perkembangan band indie di Tanah Air sekarang sudah semakin berkembang. Dia pun menyebut Yogyakarta sebagai kota yang paling banyak melahirkan band-band indie. ''Hingga sebelum gempa kemarin, jumlah band indie yang ada di Yogyakarta lebih dari seribu-an band,'' katanya. ''Bahkan jumlah tersebut lebih besar dari Bandung.'' Mengapa di Yogyakarta band-band indie bisa begitu tumbuh subur? ''Mungkin di sana heterogenitas masyakaratnya sangat besar sehingga memungkinkan band indie bisa berkembang pesat di sana,'' papar Bens memberikan alasannya. Mengenai perte!
ntangan antara band indie dengan major label, Bens malah memberi contoh bahwa saat ini semakin banyak band indie yang telah bergandengan tangan dengan sejumlah major label. ''Saat ini Warner merupakan salah satu major yang banyak menampung band-band indie,'' sebutnya. Sedangkan sejumlah band indie yang hingga kini tetap bertahan dan semakin besar popularitasnya di antaranya adalah Slank sejak album ke tujuh, Mocca, serta Maliq n D'Essential. ''Buat saya, band indie memang sebuah fenomena sosial dan kehadirannya sangat penting karena akan semakin menambah warna musik di negeri ini,'' tutur Bens. n akb
( )

No comments:

Post a Comment