Rabu, 26 Juli 2006.
Beralih ke Produk Ekolabel
Setiap produk kayu harus jelas asal-usulnya: legal, diproduksi dan didaur ulang secara ramah lingkungan.
Green Koo Nyu Ho membuat Jepang bak negeri tertutup bagi para cukong, pembalak liar, sekaligus pengusaha hitam di bisnis kayu. Disahkan April lalu, aturan soal perdagangan produk kayu itu bakal memutus mata rantai transaksi produk kayu haram di Negeri Matahari Terbit, tanpa ampun. Disebut Green Purchase Law di Eropa, Green Koo Nyu Ho tak pelak merupakan proklamasi pemerintahan Koizumi soal lahirnya greenconsumerism --'ideologi' yang dibidani kelahirannya Eropa-- di Jepang. Green Koo Nyu Ho adalah aturan anyar soal perdagangan produk berbahan dasar kayu di Jepang, yang konsep dasarnya nyaris seratus persen bersandar pada prinsip enviromentally friendly alias prinsip ramah lingkungan untuk pembangunan berkelanjutan. Melalui Green Koo Nyu Ho, sembarang furnitur tak lagi bisa masuk dan didagangkan toko-toko di Jepang. Tak sembarang alat tulis, kertas, bahan interior bisa mejeng di department store di seantero negeri ini. Sebab, sejak diterapkan, Green Koo Nyu Ho meng!
atur secara ketat lalu lintas produk berbasis kayu domestik maupun impor. Untuk pertama kalinya, lemari kayu atau kursi impor dari penjuru dunia yang dijual ke Jepang, harus dilengkapi dengan dokumen asal-usul kayu sekaligus indentitas diri yang lumayan njlimet. Apakah berbahan baku kayu legal atau ilegal. Apakah proses pembuatannya ramah lingkungan atau tidak. Apakah daur ulangnya merusak lingkungan atau tidak, dan seterusnya. Dan, tak sulit membedakan produk yang 'halal' dan 'haram'. Produk yang ramah lingkungan dipastikan memiliki logo ekolabel yang disertai nomor sertifikat ekolabelnya. Di Jepang, untuk saat ini screening status ekolabel hanya difokuskan pada lima jenis barang berbahan dasar kayu saja, yakni kertas, alat tulis, bahan interior, dan furnitur. Menurut Presiden Direktur PT Mutu Agung Lestari (MAL), institusi sertifikasi ekolabel di Indonesia, M Arifin Lambaga, greenconsumerism yang dalam kadar tertentu telah diterapkan di Eropa, kemudian disusul Jepan!
g, diramalkan bakal menjadi rh dalam perdagangan internasional!
ke depa
n. ''Inilah mengapa ekolabel mulai direspons oleh sejumlah perusahaan besar Indonesia agar dapat memenuhi persyaratan ketat ekspor ke sejumlah negara,'' tutur dia, Selasa (25/7), dalam acara penyerahan sertifikat ekolabel dari MAL kepada PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia dan PT Pindo Deli Pulp and Paper Mills. Dicanangkan sejak 2004, baru dua perusahaan ini yang memiliki sertifikat ekolabel di Indonesia. Ekolabel, terang Arifin, adalah sertifikat pada suatu produk yang memberi keterangan kepada konsumen bahwa produk tersebut menimbulkan dampak lingkungan negatif yang relatif lebih kecil dibanding produk lain yang sejenis dalam daur hidupnya. Daur hidup ini mencakup perolehan bahan baku, proses pemuatan, pendistribusian, pemanfaatan, pembuangan serta pendaurulangan. Informasi ekolabel ini digunakan oleh pembeli atau calon pembeli dalam memilih produk yang diinginkan berdasarkan pertimbangan aspek lingkungan dan aspek lainnya. Mengapa konsumen perlu beralih ke produk ekolabel!
? Produk ekolabel adalah produk ramah lingkungan yang mempertimbangkan mulai dari bahan baku yang legal dan dikelola secara lestari (untuk lingkup kertas), pengelolaan aspek lingkungan sesuai dengan ambang batas yang ditentukan, pengelolaan limbah dan efisiensi pemanfaatan sumberdaya alam. ''Ini berpengaruh pada pelestarian hutan sebagai sumber bahan baku, dan akhirnya lingkungan secara keseluruhan,'' terang Menteri Negara Lingkungan Hidup, Rachmat Witoelar, dalam kesempatan yang sama. Peduli lingkungan Ide ecolabelling dimulai pada pertemuan International Tropical Timber Organization (ITTO) di Bali pada tahun 1990. Salah satu hasil penting dari sidang tersebut adalah komitmen untuk terlaksananya pengelolaan hutan yang lestari paling lambat pada tahun 2000. Mulai tahun 2000, akan dilakukan pemberian label atau sertifikat bagi produk-produk yang terbuat dari kayu tropis. Label dimaksud adalah pertanda yang memberikan keterangan bahwa kayu yang dipergunakan untuk membua!
t produk tertentu berasal dari hutan yang dikelola secara lest!
ari. Pa
da prinsipnya, pemberian sertifikat dalam kegiatan ecolabelling dilaksanakan dengan melakukan pengujian terhadap setiap tahap kegiatan pengusahaan hutan. Kegiatan sertifikasi dapat dilakukan mulai dari pemungutan bahan baku di lapangan sampai dengan dihasilkannya produk akhir dari kegiatan pengusahaan hutan. Untuk melihat konsistensi penerapan sistem dan standar ekolabel, setiap enam bulan sekali akan dilakukan pengawasan. Bila ditemukan adanya penyimpangan atau penyalahgunaan, sertifikat dicabut dan produk harus ditarik dari pasaran. Di Indonesia, ekolabel dikembangkan berdasarkan acuan ISO 14024 (enviromental and declarations type I ecolabelling), konvensi internasional, dan produk hukum nasional. Lembaga yang terkait adalah Kementerian Lingkungan Hidup, Badan Standardisasi Nasional, Komite Akreditasi Nasional, serta lembaga sertifikasi ekolabel. Di Jepang, ekolabel dikenal dengan nama eco-mark yang ditangani oleh Japan Environment Association (JEA). JEA juga menjadi!
anggota Global Ecolabelling Network yang saat ini memiliki 26 anggota di seluruh dunia. Menurut Kepala Badan Planologi Kehutanan Departemen Kehutanan, Boen M Purnama, ekolabel pada dasarnya selaras dengan aturan standar bahwa setiap produk kayu perlu memiliki asal-usul legal. Ekolabel juga memungkinkan menelisik kerugian dari dokumen lacak balak (chain of custody). Sayangnya, sertifikasi ekolabel di Indonesia belum diwajibkan. Masih bersifat sukarela. Salah satu penyebab adalah ongkos sertifikasi yang tak kecil. n imy Ikhtisar - Keteentuan ekolabel ditetapkan di pertemuan di Bali pada 1990. - Jepang menerapkannya sejak April 2006. - Pelaksanaan ekolabel di Indonesia masih bersifat sukarela.
( )
No comments:
Post a Comment