Cari Berita berita lama

KoranTempo - Skandal Pailit Manulife dan Prudential

Kamis, 6 Mei 2004.
Skandal Pailit Manulife dan PrudentialRusmin EffendyMantan Konsultan Hukum Manulife dan Direktur Eksekutif Lembaga Strategis Kajian Demokrasi dan Politik Indonesia

Skandal pailit PT Prudential Life Assurance (Asuransi Prudential) yang diputuskan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat belum lama ini mengingatkan kita pada kasus pailit PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia beberapa waktu lalu.

Putusan pailit Prudential No. 13/PAILIT/2004/PN.NIAGA.JKT.PST yang dibacakan majelis hakim pada 23 April 2004 yang mengabulkan permohonan Lee Boen Siong (pemohon pailit)--sebuah perusahaan konsultan asal Malaysia yang menandatangani perjanjian keagenan (Pioneering Agency Bonus Agreement) dengan Prudential (termohon)--itu telah mendapat reaksi yang cukup beragam dari berbagai kalangan.

Dalam sidangnya pada 23 April lalu, majelis hakim yang dipimpin Putu Supadmi mengabulkan gugatan pailit Lee Boen Siong dengan alasan perusahaan asuransi yang berbasis di London, Inggris, itu dianggap melakukan wanprestasi dan tidak memenuhi kewajiban pembayaran utang senilai Rp 1,43 miliar.

Selain pada Lee, Prudential juga dianggap lalai memenuhi kewajibannya kepada Hartono Hojana Rp 347 juta dan Budiman Rp 21 juta. Padahal, Prudential merupakan bagian dari Prudential Plc., sebuah perusahaan jasa keuangan internasional terkemuka di Inggris yang memiliki aset US$ 300 miliar atau sekitar Rp 2,550 triliun. Selama beroperasi di Indonesia sejak 1995, kinerja perusahan ini cukup sehat dengan total kekayaan Rp 1,575 triliun, sedangkan jumlah kewajibannya Rp 1,373 triliun dengan RBC (risk base capital) atau solvabilitas 255 persen.

Karena itu, tuduhan wanprestasi terhadap Prudential tidaklah berbeda dengan Manulife, perusahaan asuransi terbesar yang berbasis di Kanada, itu karena menolak pembayaran dividen kepada PT Dharmala Sakti Sejahtera Tbk. Rp 32,7 miliar yang merupakan salah satu pemegang saham terbesar di perusahaan itu.

Komposisi saham Dharmala dalam The Manufacturers Life Insurance Company Canada (Manulife) 40 persen atau setara dengan 1.800 lembar saham, Manulife 51 persen, dan International Finance Corporation 9 persen.

Dalam kasus Manulife, permohonan pailit diajukan kurator Dharmala Paul Sukran dan sempat menimbulkan berbagai argumentasi dan interpretasi dari kalangan praktisi hukum, khususnya menyangkut kewenangan kurator dalam memutuskan status dan aktivitas debitor dalam pailit atau tidak.

Lazimnya dalam berbagai kasus kepailitan, kurator secara profesional memegang peranan strategis dan sangat menentukan kelangsungan perkara yang dihadapi. Karenanya, hal yang terpenting menyangkut tugas dan tanggung jawab kurator adalah soal independensinya. Sejauh mana kurator berwenang melakukan recovery aset dalam upaya mengumpulkan dan memaksimalisasi nilai harta pailit untuk selanjutnya mengembalikannya kepada kreditor dari debitor pailit.

Berbeda dengan Manulife, sisi menarik skandal pailit Prudential menyangkut eksistensi dan kredibilitas kurator. Menurut Ricardo Simanjuntak, kuasa hukum Prudential, pihaknya telah mengirimkan surat kepada Ketua Pengadilan Niaga Jakarta Pusat untuk mengganti kurator Yuhelson dan mengusulkan Andrey Sitanggang dengan alasan Yuhelson telah mengundurkan diri dari keanggotaan Asuransi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI) sejak 1 Maret 2002.

Sesuai dengan Pasal 7 Keputusan Menteri Kehakiman No .08-11T.05.10/1998, Yuhelson dianggap tidak memenuhi syarat berpraktek sebagai kurator. Selain itu, ada benturan kepentingan karena sang kurator memiliki hubungan kerja dan/atau afiliasi dengan kuasa permohonan pailit dan pernah bekerja pada kantor pengacara Lucas & Partners.

Pasal 13 ayat (1) UU Kepailitan menentukan bahwa dalam putusan pailit harus diangkat seorang hakim pengawas yang ditunjuk hakim pengadilan dan kurator. Sementara itu, Pasal 67B ayat (1) menyebutkan bahwa kurator dapat sewaktu-waktu diganti apabila dikehendaki demikian. Pergantian tersebut dapat terjadi atas permintaan kurator sendiri, permintaan kurator lainnya jika ada, usulan hakim pengawas, atau permintaan debitor yang pailit.

Karena itu, langkah yang ditempuh kuasa hukum Prudential untuk mengganti posisi kurator dengan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan tidak bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan. Pertimbangan mengganti kurator ini tentulah dimaksudkan untuk menjaga kredibilitas kurator agar dalam menjalankan tugasnya bisa bersikap profesional dan tidak memihak.

Secara teknis, pihak yang merasa dirugikan bisa mengajukan permohonan mengganti kurator kepada Ketua Pengadilan Niaga dan atas permohonan tersebut pengadilan memanggil dan meminta penjelasan kurator yang bersangkutan. Apabila permohonan itu dikabulkan, Pengadilan Niaga berwenang mengangkat kurator lain dan/atau mengangkat kurator tambahan.

Bahkan sesuai dengan Pasal 1365 KUH Perdata mengenai perbuatan melawan hukum, kurator dapat digugat untuk bertanggung jawab secara pribadi oleh pihak-pihak yang dirugikan atas sikap dan perbuatan kurator. Bahkan kurator harus bertanggung jawab secara pidana atas sikap dan perbuatannya.

Dalam kasus pailit Prudential maupun Manulife, alasan yuridis yang digunakan pemohon adalah ketentuan Pasal 1 ayat (1) UU No. 4/1998 jo Perpu No. 1/1998 tentang Kepailitan yang menyebutkan bahwa "Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih kreditornya."

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, para pemohon dapat mengajukan permohonan pailit kepada Pengadilan Niaga. Selanjutnya, hakim Pengadilan Niaga yang berwenang mengadili perkara memutuskan apakah suatu perusahaan yang digugat pailit bisa dikabulkan atau ditolak. Sayangnya, dalam berbagai kasus kepailitan, fakta-fakta hukum yang seharusnya menjadi dasar gugatan di pengadilan seringkali dikalahkan karena alasan yang sangat teknis. Inilah sesungguhnya titik lemah yang seringkali dihadapi UU Kepailitan.

Kasus Manulife maupun Prudential Life adalah bukti nyata betapa seorang kreditor memiliki kewenangan yang luar biasa untuk mempailitkan suatu perusahaan yang solid sekalipun. Selain itu, unsur politis juga memainkan peranan yang cukup besar dalam perkara kepailitan, seperti yang dihadapi ketiga hakim yang menyidangkan perkara Manulife--yang berbuntut pada pemberhentian sementara dari jabatannya tanpa alasan yang jelas melalui Keppres No. 139/M/2002 tertanggal 6 Agustus 2002.

Jadi, hampir dapat dipastikan, tidak tertutup kemungkinan hakim yang menyidangkan perkara Prudential Life juga bakal mengalami nasib yang sama. Meski dalam menyidangkan kasus tersebut, kemungkinan terjadinya dissenting opinion dari para hakim bisa saja terjadi. Mudah-mudahan saja pandangan penulis mengenai hal ini keliru.

Karena itu, pengalaman skandal pailit Manulife telah memberikan gambaran nyata tentang kebobrokan hukum di era pemerintahan Megawati yang sangat memalukan. Kedaulatan hukum dan wibawa pemerintah secara terang-terangan telah diintervensi pemerintah Kanada maupun International Finance Corporation, salah satu unit usaha Bank Dunia yang juga pemegang saham Manulife, agar pemerintah menganulir dan membatalkan pailit Manulife. Maka, dalam waktu tak lama, putusan pailit Manulife oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat tertanggal 13 Juni 2002 telah dianulir Mahkamah Agung (MA) melalui putusan No. 021/K/N/ 2002 tertanggal 5 Juli 2002.

Berdasarkan kasus pailit dua perusahaan asuransi terbesar di atas, pemerintah seharusnya segera menyelesaikan "pekerjaan rumah" untuk mengamendemen UU Kepailitan yang secara terang-terangan merupakan produk rekayasa dan intervensi IMF (International Monetary Fund). Khususnya untuk melindungi kepentingan sejumlah perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia, tidak terkecuali Prudential dan Manulife.

Secara teknis, pengajuan draf revisi RUU Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang (RUU Kepailitan) sudah sejak lama diajukan ke DPR, tetapi hingga saat ini masih belum jelas nasibnya karena adanya benturan kepentingan antara Komisi IX dan Komisi II DPR. Akibatnya, terjadi ketidakpastian dan jaminan hukum dalam mengadili setiap perkara kepailitan.

Padahal, perkara kepailitan merupakan sesuatu yang tak terduga, tapi memiliki substansi untuk melindungi hak-hak para kreditor untuk mendapatkan kembali pembayaran dari harta pailit yang merupakan harta persatuan para kreditor. Dengan demikian, upaya mengamendemen RUU Kepailitan yang lebih kredibel dan komprehensif sangat mendesak dilakukan guna terciptanya kepastian hukum. Dengan demikian, tidak ada lagi benturan dan dualisme kewenangan antara hakim, kurator, dan penasihat hukum.

No comments:

Post a Comment