Rabu, 27 Pebruari 2002.
Melahirkan di Saat Hujan Peluru Akhirnya, saat yang ditunggu-tunggu selama sembilan bulan itu tiba. Hari Minggu kemarin Maysun Hayek merasa kelahiran bayi yang dikandungnya sudah akan tiba. Dengan ditemani suaminya, Mohammad Hayek dan ayah mertuanya, Maysun dilarikan ke rumah sakit.
Pasangan muda ini sudah membayangkan kebahagiaan mereka memiliki anak pertama. Sang suami meminta agar Maysun bersabar hingga langit sedikit terang. Namun, Maysun mengatakan bahwa jabang bayi sudah tak sabar lagi untuk keluar.
Ternyata tak mudah mencapai rumah sakit bersalin di wilayah penjajahan Tepi Barat, Palestina. Mereka harus melewati sejumlah pos militer Israel yang membelah-belah jalan raya Yerusalem-Nablus.
Di pos militer Hawara, tentara Israel menghentikan mobil mereka dan memeriksa Maysun untuk memastikan kehamilannya. Ia disuruh membuka bajunya hingga tentara Israel dapat melihat kulit perutnya yang buncit karena mengandung.
Belum jauh berlalu, mereka tiba di pos militer lain di depan kamp pengungsian Balata. "Peluru beterbangan ke arah kami dari segenap penjuru tanpa ada peringatan sebelumnya. Saya tak tahu apa yang sedang terjadi. Saya hanya berlutut di lantai mobil untuk melindungi kandunganku dari terjangan peluru. Aku meletakkan tas bayi di atas punggung."
"Tiba-tiba, mobil yang kami tumpangi berhenti dan peluru telah melubangi seluruh badan mobil. Aku melihat Mohammad yang bersimbah darah, menarik beberapa kali napas terakhirnya. Aku mengumpulkan kekuatan untuk keluar dari mobil dan berseru: 'Baby, baby!", dengan harapan mereka akan menghentikan tembakan," Maysun menceritakan kenangan pahitnya.
Tentara Israel kemudian memang menghentikan tembakan dan kembali memeriksa Maysun. "Mereka menyuruh saya melepaskan seluruh pakaian yang saya kenakan. Saya telanjang, persis seperti ketika saya dilahirkan dulu," kata Maysun lagi. Setelah diletakkan di dalam kendaraan lapis baja, Maysun kemudian dibawa ke rumah sakit dengan ambulans Bulan Sabit Merah.
"Bayiku lahir saat aku masih di lift. Dan karena shock teramat hebat, aku sampai tak merasakan proses kelahiran itu," ujar Maysun. Di saat yang sama, ketika Hayek muda untuk pertama kalinya menghirup udara alam dunia, ayahnya melepaskan napas terakhir di ruangan lain rumah sakit yang sama. Tubuhnya yang tercabik-cabik oleh hujan peluru yang tak terbilang sudah tak mampu lagi bertahan. Kakeknya juga sedang bertahan hidup dengan dua peluru bersarang di dada dan punggungnya.
Maysun tak dapat berkata apa-apa ketika dokter memberitahukan kematian suaminya, bapak dari bayi merah yang baru dilahirkannya. Masih terngiang-ngiang perkataan suaminya, tiga hari sebelum peristiwa itu. "Tak akan ada yang tertembak atau menjadi martir dari kampung kita." Seakan-akan, meninggal wajar di tempat tidur adalah barang aneh di Palestina.
Sebenarnya Maysun tidak sendirian. Ada sejumlah perempuan Palestina hamil yang mengalami hal serupa, bahkan lebih parah. Di rumah sakit yang sama, dokter tengah menyelamatkan seorang ibu mengandung yang tertembak bahunya. Sedangkan di timur Betlehem, seorang wanita Palestina lainnya harus dioperasi caesar karena perutnya tertembak peluru tentara Israel.
Pada tahun ini juga ada dua ibu Palestina yang terpaksa melahirkan di pos militer Israel. Mereka dilarang ke rumah sakit yang terdapat di seberang perbatasan. alhayat/qaris
No comments:
Post a Comment