Cari Berita berita lama

KoranTempo - Disparitas Politik Aliran dalam Pemilihan Presiden

Kamis, 9 September 2004.
Disparitas Politik Aliran dalam Pemilihan PresidenEko Setio BudiMahasiswa Magister Perencanaan Kebijakan Publik UI, Wakil Sekjen Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia

Ada beberapa hal menarik yang bisa kita temui dalam fenomena Pemilu 2004 ini. Salah satunya yang menarik adalah persoalan politik aliran. Wacana mengenai politik aliran di Indonesia muncul semenjak adanya pendapat Cliford Geertz dalam bukunya, The Religion of Java (1960). Semenjak itulah trikotomi sosial, budaya, dan politik masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Jawa, ke dalam varian abangan, santri, dan priyayi menjadi basis pelembagaan lembaga-lembaga politik seperti partai politik yang sekaligus menggunakan paham politik aliran sebagai platform organisasi, termasuk dalam memetakkan basis dukungan di masyarakat Indonesia.

Pendapat tersebut juga dikuatkan oleh Herberth Feith dalam bukunya, Political Thinking, yang mengatakan bahwa peta kekuatan politik di Indonesia pada dekade 1940-1960-an banyak dipengaruhi oleh nilai-nilai politik internal yang berakar pada tradisi, nilai keislaman, dan Hindu-Jawa, selain dipengaruhi oleh nilai-nilai ideologi yang berakar dari Barat seperti nasionalisme, komunisme, dan sosial demokrasi.

Gerakan reformasi 1998 pun paling tidak memberikan korelasi langsung terhadap cara pandang para pengamat atau elite politik di Indonesia untuk kembali menempatkan basis politik aliran sebagai salah satu instrumen penting dalam mendirikan partai politik. Dengan demikian, menjadi wajar jika pascareformasi 1998, partai politik yang berbasis politik aliran sangat "menjamur", khususnya untuk menghadapi Pemilu 1999, sehingga memberikan konsekuensi pelaksanaan Pemilu 1999 dan Pemilu 2004 yang diikuti oleh multipartai.

Cara pandang berbasis politik aliran kembali menguat menjelang Pemilu 2004, baik dari sisi platform partai politik maupun upaya untuk menganalisis dan memetakkan dukungan suara masyarakat menjelang pemilihan presiden yang notabene dilakukan dengan cara pemilihan secara langsung.

Fenomena untuk mengawinkan tokoh (baca: elite) yang berbasiskan politik aliran tertentu dalam pemilihan presiden kelihatan sangat mencolok pada saat penentuan pasangan calon presiden-wakil presiden. Sebut saja pasangan Megawati-Hasyim Muzadi adalah upaya untuk mengawinkan politik aliran nasionalis tradisional dengan Islam tradisional (nasionalis-religius), atau pasangan Wiranto-Salahuddin Wahid adalah upaya untuk mengawinkan politik aliran nasionalis modernis dengan Islam tradisionalis, serta pasangan-pasangan lain juga memiliki kecenderungan yang sama. Hal ini tentunya lebih didasari asumsi bahwa masyarakat pemilih masih dominan dipengaruhi cara pandang feodal dan paternalistik serta banyak dipengaruhi oleh nalar-nalar feodal seperti nalar wangsa maupun nalar marsose dan kuatnya budaya patriarki.

Cara pandang yang berbasiskan politik aliran memang tidak bisa sepenuhnya dikatakan salah, demikian juga sebaliknya. Hasil pemilu legislatif 5 Juli lalu membuktikan masih dominannya cara pandang berbasis politik aliran pada diri para pemilih. Hal ini dibuktikan dengan signifikannya suara PKB di Jawa Timur yang notabene adalah masyarakat Islam tradisionalis secara mayoritas, kuatnya dukungan PDIP di Jawa Tengah, serta basis-basis suara partai politik lain yang dipertemukan karena cara pandang yang berbasiskan politik aliran.

Demikian halnya dengan hasil pemilihan presiden putaran pertama. Meskipun basis massa Islam tradisionalis tidak memberi dukungan yang signifikan pada pasangan Megawati-Hasyim dan pasangan Wiranto-Salahuddin, fenomena kemenangan pasangan SBY-Jusuf Kalla, yang salah satunya dipengaruhi oleh faktor figuritas SBY, memberi gambaran bahwa pilihan sikap politik masyarakat dalam pemilu masih kuat dipengaruhi oleh cara pandang feodal-paternalistik.

Gambaran di atas adalah sebuah realitas dari perilaku pemilih dan elite politik kita saat ini, yang sekaligus memberi gambaran tentang genealogi politik Indonesia yang masih cukup kuat berakar pada basis tradisi masyarakat Nusantara.

Dalam wacana koalisi, khususnya menjelang pemilihan presiden putaran kedua, tampaknya cara pandang yang berbasis politik aliran tidak cukup signifikan diperdebatkan atau bahkan cenderung diabaikan oleh para elite politik, baik calon presiden-wakil presiden ataupun oleh para tim suksesnya.

Wacana koalisi yang lebih dominan muncul dan menjadi satu argumentasi strategis adalah koalisi yang berbasiskan partai politik, tetapi bukan dari sisi cara pandang atau basis politik aliran partai, melainkan lebih pada pertimbangan perolehan suara partai pada pemilu legislatif lalu. Hal ini tampak dari keberadaan Koalisi Kebangsaan yang melibatkan empat partai besar, yaitu PDIP, Partai Golkar, PPP, dan PDS.

Koalisi model ini masih menjadi salah satu pilihan yang banyak diminati, meskipun fenomena kemenangan pasangan SBY-Kalla jelas membuktikan bahwa mesin politik partai tidak cukup efektif mempengaruhi pilihan politik masyarakat. Fenomena koalisi ini menjadi menarik untuk didiskusikan kembali.

Keberadaan pemilih otonom dalam pemilihan presiden sering dijadikan argumen untuk menjelaskan transformasi politik aliran yang sedang dialami bangsa Indonesia saat ini adalah rasionalitas masyarakat dalam menjatuhkan pilihan politiknya dalam pemilu. Sebuah pendapat yang banyak mengacu pada pendapat Max Weber yang menyebutkan, ketegangan kreatif antara zweckrational dan wertrational, pemikiran yang murni rasional menjadi satu dengan pemikiran berdasarkan nilai sehingga yang ada hanya pertentangan aktualitas, bukan ideologi. Tetapi, tulisan ini bukan bermaksud untuk membuat konfrontasi dengan pendapat Weber, karena jelas bahwa studi kasus Weber adalah masyarakat Eropa yang jelas-jelas berbeda akar dan tradisinya dengan masyarakat Indonesia.

Tetapi, menurut penulis, asumsi yang mengatakan bahwa para pemilih dalam pemilihan presiden 2004 adalah pemilih rasional tak begitu tepat dengan sejumlah alasan. Pertama, fenomena kemenangan pasangan SBY-JK, karena faktor figuritas SBY. Kedua, masih dominannya praktek politik uang yang dilakukan para elite dalam mempengaruhi pilihan politik masyarakat, baik dalam bentuk pemberian kaus, atribut partai, ataupun pemberian bantuan kemanusiaan seperti sembako dan penyemprotan demam berdarah gratis yang marak dilakukan partai pada kampanye legislatif. Meskipun banyak orang yang mengatakan bahwa hal ini adalah media kampanye, pada sisi lain hal ini adalah bentuk hegemoni elite untuk mempengaruhi pilihan politik masyarakat.

Ketiga, asumsi yang mengatakan bahwa tingginya angka golongan putih (golput) pada pemilu legislatif yang kurang-lebih mencapai 23,34 persen dan sekitar 25 persen pada pemilihan presiden pertama menggambarkan tingginya rasio masyarakat untuk mengambil sikap antara menjatuhkan pilihan politik pada partai atau calon presiden-wakil presiden tertentu atau golput, menurut penulis tidak sepenuhnya benar. Tingginya angka golput tersebut lebih disebabkan faktor teknis seperti salah pencoblosan serta banyaknya masyarakat yang belum terdaftar sebagai pemilih.

Berdasarkan argumen-argumen di atas, jika praktek elite dalam membangun koalisi tetap bertahan pada koalisi berbasis perolehan suara partai pada pemilu legislatif, padahal realitas politik Indonesia menunjukkan belum mampunya masyarakat keluar dari cara pandang politik aliran, jelas bahwa perilaku hipokrit adalah watak yang sebenarnya para elite politik kita. Hal ini semakin menguatkan asumsi bahwa koalisi adalah bentuk bagi-bagi kue kekuasaan ketimbang upaya untuk mewujudkan pemerintahan yang kuat untuk kurun waktu lima tahun mendatang.

No comments:

Post a Comment