Cari Berita berita lama

Kesehatan Reproduksi sebagai Isu Keamanan Nasional - 25/03/2006, 14:40 WIB - KOMPAS Cyber Media - Kesehatan

Sabtu, 25 Maret 2006.


Kesehatan Reproduksi sebagai Isu Keamanan Nasional

Jakarta, Kompas
Kirim Teman | Print Artikel
Berita Terkait:
- Kesehatan Reproduksi dan Seksual Remaja
- Hentikan Medikalisasi Sunat Perempuan!
- Organ Seks Perempuan Rentan Virus HIV!
Oleh: Maria Hartiningsih dan Ninuk M Pambudy
Ancaman keamanan paling serius pada suatu negara bukanlah serangan dari luar yang membutuhkan tanggapan militer (traditional security threat), tetapi segala sesuatu yang setiap saat berpotensi mengancam kehidupan secara fisik maupun psikologis (nontradisional security threat).
Salah satunya kesehatan, khususnya kesehatan reproduksi.
Pernyataan Prof Dr Saparinah Sadli dalam seminar advokasi nasional mengenai hak-hak kesehatan reproduksi dan seksual di Jakarta, Selasa (21/3) itu, mengentak 78 peserta seminar yang diselenggarakan Focal Point Groups.
Kelompok itu tergabung jaringan Advokasi dan Pemantauan Kesehatan dan Hak-hak Reproduksi dan Seksual Indonesia (IRRMA) yang melakukan advokasi untuk mendukung dikeluarkannya Amandemen UU No 23/1992 tentang Kesehatan.
Kesehatan reproduksi mencakup seluruh persoalan yang terkait dengan reproduksi, mulai dari kesehatan seksual sampai kepada hak untuk menentukan waktu hamil (bagi perempuan) dan besarnya keluarga bagi setiap pasangan. Kesehatan reproduksi juga mencakup penghapusan mutilasi kelamin perempuan (FGM), dan yang terpenting, penyadaran serta tindakan mencegah penyebaran HIV/AIDS.
Informasi dan pelayanan kesehatan reproduksi yang memadai akan melindungi dan memecahkan masalah terkait dengan persoalan kesehatan reproduksi, mulai dari penyakit seksual menular sampai kematian ibu.
�Tak banyak pejabat mengetahui apa itu kesehatan perempuan dan artinya bagi suatu bangsa,� ujar Saparinah.
Situasi kesehatan perempuan yang tidak menggembirakan di Indonesia bukanlah situasi yang kondusif bagi keamanan negara dalam arti luas menyangkut masa depan bangsa. Salah satu contohnya adalah angka kematian ibu melahirkan (AKI).
Menurut dr Trisnawati dari Departemen Kesehatan, AKI 307 per 100.000 kelahiran hidup atau 20.000 per hari, berarti 50,5 per hari atau 2,1 per jam, yang sulit turun adalah indikator paling jelas dari rendahnya tingkat pembangunan manusia di Indonesia. �Karena itu, Amandemen UU No 23 Tahun 1992 harus segera dilakukan,� tegas Saparinah.
Potret berbagai isu terkait dengan kesehatan reproduksi dipaparkan dalam hasil penelitian di berbagai daerah.
Buram
Pernahkah membayangkan persalinan yang menggunakan abu gosok untuk menghentikan pendarahan? Pernahkan membayangkan kantong plastik keresek hitam sebagai pengganti sarung tangan untuk mendorong proses persalinan?
�Ini terjadi di Madura,� ujar Elly Yuliandari dari Kelompok Studi Gender dan Kesehatan Fakultas Psikologi Universitas Surabaya yang meneliti tentang angka kematian ibu hamil serta melahirkan di Surabaya dan Madura.
Dalam diskusi, Hj Mutafaridah Hasan dari Komisi A DPRD Provinsi Jawa Timur menambahkan, pandangan meninggal ketika melahirkan adalah mati syahid masih dikukuhi sebagian masyarakat di situ sehingga �Ada yang anaknya sampai 24 orang,� ujar wakil dari Partai Kebangkitan Bangsa itu.
Menurut Mutafaridah, proses persalinan di rumah bagi banyak orang di Madura adalah pilihan karena menganggap darah yang tumpah di tanah di dalam rumah adalah berkah.
Dengan situasi seperti itu, bisa dimengerti bila Yuliandari meragukan data resmi mengenai angka kematian ibu di Madura dan Jawa Timur. Lemahnya data mempersulit penyusunan strategi kebijakan untuk peningkatan layanan bagi ibu melahirkan. �Pelatihan dan pengawasan lemah,� ujarnya.
Sampai saat ini belum ada sistem rujukan memadai dari masyarakat ke puskesmas dan rumah sakit. Menurut Yuliandari, kurang dari 10 persen puskesmas yang mampu melayani pelayanan obstetrik neonatal esensial dasar dan sekitar 40 persen RS daerah tingkat II tidak mempunyai dokter spesialis atau mahir kebidanan.
Sistem nilai budaya menyebabkan perempuan tidak memiliki posisi tawar. Semua keputusan menyangkut kehamilannya diputuskan laki-laki. �Perempuan yang bermasalah waktu melahirkan dianggap bukan perempuan baik-baik,� sambungnya.
Esthi Susanti dari Hotline Surabaya memaparkan, meski Jawa Timur telah memiliki Perda Nomor 5/2004 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS, implementasinya tidak mudah.
Perilaku dan sistem masih tidak kondusif untuk mengatasi HIV/AIDS. Program pencegahan HIV/AIDS belum menjangkau perempuan dan remaja bukan pekerja seks komersial. Semua program masih bersifat reaktif.
�Banyak anggapan HIV/AIDS penyakitnya pelacur, pengguna narkoba, orang gagal, sehingga anak delapan tahun di Tulung Agung yang terinfeksi HIV dari orangtuanya ditolak bersekolah,� ujar Esthi.
Belum tersedianya informasi lengkap dan benar tentang penularan penyakit seksual, termasuk HIV/AIDS, pada ibu rumah tangga dan remaja putri menyebabkan mereka menjadi kelompok berisiko tinggi.
Data dari RS Dr Sutomo menunjukkan ibu hamil yang terinfeksi HIV berjumlah sekitar tiga persen. �Di klinik kami ditemukan angka infeksi menular seksual yang tinggi pada perempuan non-PSK,� ujarnya.
Dampak psikososial dari situasi itu luar biasa. �Seperti ada kepanikan emosional di masyarakat,� sambung Esthi.
Banyak orang dengan HIV/AIDS dipecat dari pekerjaannya dan diusir dari komunitasnya. Perempuan non-PSK yang tertular dari suaminya selalu mendahulukan kesehatan suaminya. Banyak laki-laki dengan HIV/AIDS meninggal di rumah sakit, sementara perempuan meninggal di rumah.
�Istri dipaksa keluarga untuk merawat suami yang terinfeksi, sementara ia ketakutan tertular. Kalau istri tes duluan dan terdeteksi positif, ia dituduh menulari suami,� sambung Esthi.
Isu kesehatan reproduksi, menurut Esthi seharusnya terintegrasi dengan isu HIV/AIDS. �Kematian ibu tak hanya karena melahirkan, tetapi juga karena HIV/AIDS.�
Terus didiskriminasi
Hasil pemantauan di Makassar dan Samarinda menemukan reformasi di bidang kesehatan masih dipandang secara sempit dengan hanya terfokus pada pengurangan jumlah korban malaria, demam berdarah, dan tuberkulosis.
Zohra Andi Baso dari Yayasan Lembaga Konsumen Sulawesi Selatan mengatakan, situasi itu tidak membawa perbaikan yang berarti bagi masalah kesehatan yang lebih serius, khususnya yang dialami perempuan, seperti angka kematian ibu, HIV/AIDS, dan aborsi tidak aman.
�Di Sulawesi Selatan, otonomi daerah tidak digunakan memecahkan persoalan ini, tetapi untuk berlomba membuat peraturan daerah yang mendiskriminasi perempuan,� tegas Zohra.
Dari Yogyakarta, Triningtyasasih dari Rifka Annisa Women�s Crisis Center memaparkan meningkatnya kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak, di samping kekerasan fisik dan psikis yang kecenderungannya meningkat sampai 100 persen. Empat undang-undang (UU) terkait belum mampu melindungi dan menghapus kekerasan seksual terhadap anak perempuan.
Dari Jakarta, Bogor, Bekasi, Tangerang, Depok, Atashendartini Habsyah dari Yayasan Kesehatan Perempuan memaparkan masalah aborsi tidak aman yang menyumbangkan 11-30 persen terhadap angka kematian ibu.
Mengutip penelitian tahun 2002 dikemukakan, 80 persen perempuan yang membutuhkan pelayanan aborsi aman adalah perempuan berumah tangga, akibat kegagalan kontrasepsi, jarak kehamilan terlalu dekat, alasan psikososial ekonomi, serta perilaku kekerasan terhadap istri dan anak.
Hambali dari perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Jambi memaparkan, remaja dan penduduk usia muda yang meliputi 30 persen dari jumlah penduduk Indonesia adalah kelompok yang dipenjarakan oleh nilai-nilai sosial budaya, berbagai peraturan, kebijakan dan UU sehingga tidak mendapatkan informasi tentang kesehatan reproduksi yang tepat dan benar.
Baik Elly, Esthi, Hambali, Atashendartini, Zohra dan, Triningtyasasih mengemukakan sejumlah rekomendasi yang diharapkan menjadi pertimbangan dalam menyusun amandemen UU No 23/1992 tentang kesehatan.
Beberapa masukan
Anggota DPRD dari Provinsi Jambi, Muhammad Jayadi, dan dari Provinsi Sulawesi Selatan Devi Santy Erawati, keduanya dari Partai Keadilan Sejahtera, mengingatkan agar isu kesehatan reproduksi tidak direduksi sebagai isu aborsi.
�Persoalan itu sangat luas,� ujar Dewi. �Keterkaitan HIV/AIDS dan kesehatan reproduksi, misalnya, belum banyak diketahui masyarakat.�
Dr Charles dari Universitas Atmajaya mengusulkan agar dilakukan monitoring data di tingkat regional dan mengingatkan agar dana yang ada tidak digunakan melenceng.
Dr Hadipratomo dari Universitas Indonesia memaparkan pentingnya pendampingan pada keluarga miskin untuk mengetahui kebutuhan mereka akan pelayanan kesehatan. Data itu sangat berguna untuk perencanaan legislatif dan eksekutif.

No comments:

Post a Comment