Cari Berita berita lama

Emha: Mending Cak Nur dan Amien, Ketimbang Maling

Senin, 15 September 2003.
Emha: Mending Cak Nur dan Amien, Ketimbang MalingBogor, 15 September 2003 11:34Budayawan Emha Ainun Nadjib menilai, intelektual muslim Nurcholish Madjid (Cak Nur), Amien Rais dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) wajar jadi presiden, daripada Indonesia dipimpin para maling.

"Kalau mereka kaum intelektual, budayawan, cendekiawan, dan guru bangsa tidak boleh pegang kekuasaan, terus negara ini hanya diizinkan dipegang oleh para maling itu, justru mereka harus pegang kekuasaan," kata budayawan Emha (Cak Nun) di Kampus Institut Pertanian Bogor (IPB) Darmaga, Minggu.

"Jadi wajar kalau Cak Nur, Gus Dur, atau Amien Rais jadi presiden. Intinya bukan dia maling, budayawan, cendekiawan, tapi apakah dia mampu jadi presiden yang baik atau tidak, jadi kenapa dilarang? Kenapa kalau maling, preman tidak dilarang jadi presiden sedangkan cendekiawan dilarang jadi presiden, jadi boleh dong!," tambahnya.

Cak Nun menyampaikan pendapat itu usai bedah buku "Dari Kandang: Memandang Dunia", tulisan Dr Muladno, seorang doktor Bioteknologi Peternakan di IPB yang meminati khusus penelitian tentang hewan Babi, di mana dalam buku itu Cak Nun adalah pemberi kata pengantarnya.

Kepadanya ditanyakan mengenai adanya pendapat di masyarakat yang mempertanyakan tokoh-tokoh cendekiawan seperti Cak Nur, Amien Rais dan Gus Dur yang dikesankan ikut berlomba-lomba memburu kekuasaan dengan maju ke kancah persaingan menjadi presiden.

Dengan pertimbangan bahwa Indonesia semestinya dipimpin oleh orang yang baik di mata rakyat, maka ia memberikan dukungan atas tokoh-tokoh tersebut dapat menjadi presiden.

Hanya saja, menurut Cak Nun, yang populer dijuluki "Kyai Mbeling" itu, meski ia mendukung mereka menjadi presiden, namun ia "tidak mendukung" "kepinginnya" tokoh-tokoh itu menjadi presiden.

"Yang saya tidak dukung adalah `(ke)-penginnya` itu. Kalau orang melantik, menuntut seseorang jadi presiden bagus, tapi yang saya tidak dukung adalah ambisinya itu, yang saya tidak dukung itu `who wants to be presdinet`, terus ikut mendaftar, itu yang saya tidak setuju," katanya.

"Kalau anda jadi presiden itu orang yang butuh anda, bukan anda yang ingin jadi presiden. Kalau masih harus mendaftar untuk menjadi presiden maka itu jangan dilakukan. Karena itu melanggar prinsip kebudayawanan, kerohaniawanan, kebegawanan," tambahnya.

Ia mengatakan, rohaniawan itu tidak ingin kekuasaan, tapi kalau dia terpaksa berkuasa, karena tuntutan zaman dan rakyat. "Kalau zaman yang rusak seperti ini diserahkan kepada mekanisme konstitusi saja, yah... anda akan mendapatkan pemimpin yang tidak bermutu dan kalau urusannya itu ya... sudah jangan mengharap apa-apa," katanya.

Ketika ditanya bahwa mekanisme konstitusi dan aturan main dalam sistem politik di Indonesia adalah seperti sekarang, sehingga apakah ada mekanisme lain selain konstitusi untuk mencari pemimpin nasional, ia menyebut hal itu ada.

Cak Nun memberi referensi tentang peralihan kekuasan zaman 1965, zaman reformasi, di mana waktu Gus Dur jadi presiden, yang dinilainya itu semua di luar konstitusi.

"Memang lewat konstitusi jalannya, tapi hakikatnya bukan melalui konstitusi waktu tiba-tiba Gus Dur jadi presiden, juga Soeharto setelah perang 1965 dia jadi presiden," katanya.

Tentang kondisi menjelang Pemilu 2004, ia melihat ada yang bagus kalau banyak orang yang kepingin menjadi presiden, supaya rakyat mengetahui jelas siapa pemimpinnya.

"Tahun 2004 bagus kalau banyak yang ingin jadi presiden supaya kita tahu mana orang yang memang...saya (harus) pilih dulu bahasa yang halus, supaya kita tahu mana orang yang tidak tahu diri!," katanya.

Karena itu, kata dia, sebanyak mungkin yang maju mencalonkan diri menjadi bagus buat rakyat supaya tidak berkhayal-khayal tentang seseorang.

"Oh...begitu to Surya Paloh, begitu toh si anu, dan lain-lain. Jadi rakyat semakin tahu," tambahnya.

Mubahallah

Menjawab pertanyaan apakah dirinya punya resep kepada masyarakat luas menghadapi Pemilu 2004 sehingga bisa mendapatkan pemimpin yang baik dan bisa membawa perubahan ke arah lebih baik, Cak Nun menyebut istilah "muhaballah".

"Kita sebaiknya melakukan `mubahallah`," katanya.

Secara lebih rinci, "mubahallah" yang dilakukan itu adalah sehari menjelang Pemilu, sebaiknya masyarakat Muslim berkumpul di Masjid, yang Nasrani di Gereja, demikian umat beragama lainnya dapat pula berkumpul di lapangan.

"Bilang sama Tuhan, Tuhan kita nih sebenarnya bingung mau memilih siapa, tapi apa boleh buat ini demi suksesnya konstitusi demokrasi, maka kami akan milih yang menurut kami sementara ini dia yang terbaik," katanya.

"Nah...tolong Tuhan yang menguji. Kalau pemimpin yang kami pilih ini yang ternyata baik tolonglah dia, tapi kalau dia berkkhianat maka cepat hancurkan dia," kata Cak Nun.

Mekanisme "mubahallah" disarankannya itu, katanya, karena saat ini rakyat mau memilih tapi tidak tahu yang mau dipilih siapa, karena informasinya tidak mencukupi untuk mengetahui apakah sosok seperti Amien Rais baik apa tidak, Gus Dur baik apa tidak, SBY (Susilo Bambang Yudhouono) bagus apa tidak.

"Jadi ada lack of information sehingga terjadi juga lack of decision making, jadi lebih baik melakukan mubahallah. Itulah perlunya agama, dan perlunya Tuhan," kata Emha Ainun Nadjib.

Ia menambahkan, sehebat-hebatnya orang di Indonesia, sekarang kalau dia tidak punya organisasi, dia tidak akan diambil.

"Meskipun kita bodoh dan tidak mengerti apa-apa, tapi karena ketua partai ya... diwawancarai wartawan, biar pun nanti nggak ada lagi yang memilih," katanya. [Tma, Ant]

No comments:

Post a Comment