Cari Berita berita lama

Bukan Tanggung Jawab Saya

Selasa, 28 Mei 2002.
Bukan Tanggung Jawab SayaJakarta, 28 Mei 2002 00:09KETIKA sedang gencar melakukan upaya hukum menyangkut kepastian usia pensiun perwira polisi, mantan Kapolda Metro Jaya, Komisaris Jenderal (Komjen) Sofjan Jacoeb, tiba-tiba diseruduk tuduhan ikut terlibat penyelundupan mobil mewah. Toh, Sofjan mengaku tidak risau. "Saya biasa-biasa saja. Orang saya tahu persis, saya tidak melanggar hukum apa pun," ujarnya kepada GATRA, Jumat pekan lalu.

Hubungan antara Sofjan Jacoeb dan Kapolri Jenderal Da'i Bachtiar belakangan memang merenggang. Da'i bersikeras menetapkan usia pensiun 55 tahun. Tindakan ini tak bisa diterima Sofjan Jacoeb dan kelompoknya. Mereka menganggap bahwa Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2002 memberikan kesempatan bagi mereka untuk berkarier sampai usia 58 tahun. Sofjan, yang didukung sejumlah perwira, meminta fatwa Mahkamah Agung (MA) atas masalah ini. Namun, MA menyatakan bahwa urusan itu sebaiknya dibawa ke pengadilan negeri atau pengadilan tata usaha negara (PTUN).

Sofjan kini memang punya waktu luang untuk melakukan advokasi bagi rekan-rekannya. Meski menyandang tiga bintang di pundak, posisinya berada di luar struktur Polri. Ia dilempar ke Lembaga Ketahanan Nasional tanpa jabatan pasti. Padahal, namanya sempat berkibar menjadi kandidat Kapolri. Popularitasnya sebagai Kapolda Metro Jaya, yang berhasil meringkus Tommy Soeharto dan mengamankan Sidang Istimewa MPR, memang membuatnya mendapat dukungan luas.

Toh, soal usia pula yang membuat Sofjan Jacoeb, pria kelahiran Lampung, 31 Mei 1947 ini, terlempar dari kontes. Pemerintah rupanya menginginkan Kapolri yang lebih muda. Perpanjangan usia 58 tahun bagi perwira Polri dikhawatirkan membuat populasi perwira bertumpuk-tumpuk. Maka, bintang Sofjan pun memudar seiring dengan hilangnya posisi resminya. Berikut ini perbincangan Sofjan Jacoeb dengan wartawan GATRA Putut Trihusodo tentang gosip mobil mewah dan "oposisinya" kepada Kapolri. Wawancara telepon itu dilakukan Kamis dan Jumat pekan lalu.

Bagaimana ceritanya Anda berurusan dengan kasus mobil-mobil mewah itu?
Ketika itu, saya menjabat Kapolda Sulawesi Selatan di Makassar. Saya memang mengeluarkan nomor bantuan untuk beberapa buah mobil milik seorang teman importir dengan nomor polisi DD. Dia importir resmi, legal. Dia juga bukan orang asing di kalangan Polri. Saya sudah cek ke beberapa pimpinan Polri. Umumnya mereka mengenal orang ini. Tentang siapa dia, tak perlulah saya sebut.

Mengapa Anda harus meminjam?
Untuk sementara saja. Nomor bantuan itu hanya berlaku tiga bulan. Setelah itu hangus, nggak bisa diperpanjang.

Berapa jumlah yang Anda pinjam dan apa jenisnya?
Empat atau lima Mercedes-Benz. Tapi, saya lupa berapa persis jumlahnya. Satu saya pakai kalau sedang berada di Jakarta. Yang lain untuk dipakai tamu-tamu atau kawan-kawan saya yang kadang memerlukan mobil. Mereka tamu-tamu VIP, ha, ha, ha.... Saudara harus tahu bahwa, menurut hukum, Kapolda itu berwewenang mengeluarkan nomor bantuan. Jadi, itu wajar saja.

Apakah Anda tidak tahu bahwa mobil-mobil itu bermasalah?
Tidak. Lha, importirnya itu kan resmi, sah. Setahu saya, mobil-mobil itu baru masuk dan sedang menunggu penyelesaian dokumen-dokumennya secara resmi sebelum kemudian diterbitkan BPKB dan STNK-nya.

Kenyataannya, mobil-mobil itu sekarang sudah dibekali STNK dan BPKB aspal alias asli tapi palsu.
Itu yang saya tidak tahu. Saya hanya pinjam untuk tiga bulan sesuai dengan masa berlakunya nomor bantuan yang saya keluarkan. Setelah itu, ya, selesai. Mobil saya kembalikan. Yang saya baca di koran, mobil-mobil itu kemudian mendapat STNK dan BPKB dari daerah Jawa Barat. Ada yang dari Serang, katanya.

Jadi, siapa yang bertanggung jawab?
Yang tanggung jawab, ya, yang mengeluarkan surat-surat itu. Kalau benar yang menerbitkan surat-surat itu Jajaran Polda Jawa Barat, ya, mereka yang harus bertanggung jawab. Saya tidak tahu bagaimana prosesnya terjadi. Yang jelas, nomor bantuan itu seharusnya tak bisa dimutasikan menjadi nomor resmi. Mestinya, begitu masa berlakunya berakhir, tak ada perpanjangan. Hangus.

Kalau yang meminta dan mengurus seorang Kapolda, apa tidak bisa?
Tidak. Peraturan di Kepolisian Lalu Lintas menyatakan bahwa nomor bantuan itu tak bisa dijadikan dasar untuk menerbitkan nomor asli. Begitu masa berlakunya habis, ya, selesai. Dan Anda boleh tahu, bukan sekali itu saja saya menerbitkan nomor bantuan. Ketika menjabat Kapolda Metro Jaya, saya juga menerbitkan nomor bantuan untuk beberapa kedutaan asing. Untuk Kedutaan Besar Amerika Serikat kalau nggak salah ada enam, Kedutaan Besar Inggris enam, juga untuk Kedutaan Besar Kanada. Ketika itu, di Jakarta kan meletus sentimen anti-negara-negara Barat. Bahkan, ada ancaman sweeping segala.

Kapolda berhak mengeluarkan nomor bantuan itu, sebagaimana hak untuk meminta anggotanya berpakaian preman dalam menjalankan tugasnya. Hal-hal semacam ini diperlukan untuk operasi-operasi yang memerlukan penyamaran, misalnya.

Tapi, keputusan Anda memberikan nomor bantuan itu bisa ditafsirkan sebagai pemberian perlindungan sementara, sebelum surat-surat mobil keluar.
Saya jenderal. Saya tak mau melakukan pekerjaan serendah itu. Saya polisi, sebelum bertindak saya menimbang dulu, apakah ini melanggar hukum atau tidak. Saya juga tak mau merusak nama baik pribadi serta korps saya. Apa yang telah saya lakukan ketika itu tak melampaui kewenangan saya sebagai Kapolda.

Ketika kemudian menjadi Kapolda Metro Jaya, apakah Anda concern dengan urusan impor mobil mewah yang kadang rawan terhadap penyelewengan pajak itu?
Waktu saya menjadi Kapolda, urusan saya bertumpuk-tumpuk. Ada soal sidang-sidang DPR yang mengeluarkan memorandum buat presiden, terus krisis di Polri, dan pengamanan Sidang Istimewa MPR. Semuanya itu sangat menguras tenaga dan pikiran. Belum lagi soal Tommy Soeharto. Kasus ini menjadi sorotan masyarakat luas. Kasus ini menjadi pertaruhan bagi jajaran Polri. Alhamdulillah, kami bisa menyelesaikannya dengan baik. Tommy bisa ditangkap. Terus terang, konsentrasi saya sebagai Kapolda terkuras di sana. Soal permainan mobil ini, saya tak begitu ingat, apa saja arahan saya ketika itu.

Setelah Anda meminjam tiga bulan, apa yang terjadi dengan mobil-mobil mewah itu?
Ya, saya kembalikan ke pemiliknya. Dia importir mobil sah, kok. Bahwa masalah ini naik ke permukaan, itu mungkin gara-gara ada yang tertangkap masih dengan nomor bantuan yang DD itu. Padahal, nomor itu mestinya sudah tak berlaku lagi. Saya tidak tahu, mengapa masih juga dipasang. Jadi, saya yang dituduh. Padahal, itu mestinya sudah bukan tanggung jawab saya.

Anda mengaitkan tuduhan ini dengan sikap "oposisi" Anda kepada Kapolri?
Itu yang saya tidak tahu. Tapi, ya, memang saya yang paling getol memperjuangkan pelaksanaan UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI. Tak ada ambisi pribadi saya dalam memperjuangkan penegakan hukum ini. Saya berjuang untuk kepentingan dan karier kawan-kawan dan juga adik angkatan saya yang ribuan jumlahnya. Mereka harus memperoleh kepastian hukum tentang perjalanan kariernya.

Anda dan kawan-kawan sempat meminta fawa MA. Tapi, fatwa MA menyilakan Anda menuntut ke PTUN atau pengadilan negeri. Apa yang akan Anda lakukan sekarang?
Ya, mungkin teman-teman yang telah dirugikan mau ke PTUN. Saya sendiri cuma menampung ketidakpuasan teman-teman. Sebab, UU Nomor 2 Tahun 2002 itu sudah diberlakukan tapi kok belum dilaksanakan. Soal usia pensiun itu masih belum jelas kepastian hukumnya. Tiap bulan, mungkin ratusan yang dipensiun. Saya sendiri mungkin juga segera dipensiun. Saya tak ingin soal ini menjadi masalah politik. Saya meredam teman-teman yang akan menggunakan saluran DPR untuk menghadapi masalah ini. Ini soal hukum. Jadi, saya mengajak mereka menempuh upaya hukum.

Anda sendiri mau menggugat?
Yang menggugat itu mereka yang sudah dirugikan. Nah, dalam soal ini, saya berkonsultasi dengan Bang Buyung Nasution sebagai pengacara senior. Saya sempat bertanya, apakah para pensiunan polisi ini harus bayar biaya konsultasi. Bang Buyung bilang, "Gratis." Maka, saya bawa teman-teman ke Bang Buyung.

Anda tak menggugat. Apakah ini kesepakatan Anda ketika bertemu Kapolri Da'i Bachtiar di Mabes Polri, Kamis lalu?
Tidak begitu. Waktu ketemu, saya cuma mengklarifikasi soal mobil impor itu. Saya tegaskan bahwa saya tidak melakukan hal yang melampaui kewenangan sebagai Kapolda. Dia tampaknya bisa mengerti.
[Laporan Utama, GATRA Nomor 28 Beredar Senin 27 Mei 2002]

No comments:

Post a Comment