Jumat, 29 April 2005.
Ekonomi Bisnis
Caltex Minta Insentif dari Pemerintah
Jum'at, 29 April 2005 | 17:33 WIB
TEMPO Interaktif, Pekanbaru:PT Caltex Pasific Indonesia mengharapkan insentif dari pemerintah untuk dapat meningkatkan kembali produksinya. Tanpa insentif tersebut, menurut Manajer Public & Goverment Affair Sumatera Caltex, Djati Sussetya. Caltex yang merupakan anak perusahaan Chevron Texaco milik Amerika Serikat, tak akan mampu bersaing dengan unit bisnis Chevron yang sama di negara lain.
Insentif sangat diperlukan terutama untuk mengaktifkan kembali sumur-sumur minyak marjinal yang jumlahnya lebih dari 300 buah di lahan Caltex. Produksi perusahaan minyak tertua di Indonesia ini terus menurun. Saat ini Caltex hanya mampu berproduksi sebanyak 550 ribu barel perhari, padahal sebelumnya produksi Caltex bisa mencapai 750 ribu barel per hari.
Menurut Djati, bila sumur-sumur marjinal dapat diaktifkan kembali, maka produksi bisa dimungkinkan untuk naik. "Tetapi tanpa insentif dari pemerintah, siapa yang mau, karena penambangan di sumur marjinal sangat tidak ekonomis,"tandasnya.
Split yang diterapkan pada Caltex sangat rendah dan tidak kompetitif untuk internasional. Dalam kontrak kerjanya dengan pemerintah, split yang diterapkan pada Caltex adalah 90 : 10. Sekarang ini, fokus Caltex, menurut Djati, hanya menahan laju penurunan produksi. Untuk itu, Caltex menerapkan teknologi baru dengan menggunakan surfactan untuk mengangkat minyak ke permukaan. Sebelumnya, teknologi yang diterapkan menggunakan injeksi air.
Penggunaan teknologi surfactan ini membutuhkan biaya yang sangat tinggi. Karenanya, untuk sementara waktu teknologi ini baru sebatas pilot project. "Kalau ini berhasil, maka teknologi ini akan kami teruskan. Kalau perlu bangun pabrik surfactan disini agar tidak perlu impor," tuturnya.
Djati menyangkal anggapan yagn menyatakan kurang produktifnya Caltex saat ini karena komitmennya yang mulai berkurang kepada Indonesia. Menurutnya, komitmen investasi Chevron Texaco hingga saat ini tidak berkurang, bahkan cenderung bertambah. Jumlah yang diinvestasikan Chevron utuk operasional saja, masih sekitar US$ 610 juta per tahun. Sedang untuk kapitalnya, masih sekitar US$ 200 juta. "Saya rasa anggapan bahwa Caltex akan pergi dari Indonesia tidak benar, karena kontraknya saja baru akan berakhir tahun 2021,"ujarnya.
Diakui Djati, Caltex sangat sulit bersaing dengan unit bisnis Chevron lainnya di berbagai negara. Misalnya, Kazhakstan, negara pecahan bekas Uni Sovyet tersebut, saat ini memikat investasi Chevron. Karena, bisnis minyak di negara itu relatif baru, sehingga prosesnya lebih mudah dan pembagian hasilnya pun lebih besar.
Untuk itu, Djati berharap agar berbagai kebijakan di Indonesia mengenai kontrak kerja sama minyak ini dapat di perbaiki. Diantaranya, mengenai pembagian hasil dan pengurangan pajak.
Chairunnisa
No comments:
Post a Comment