Cari Berita berita lama

KoranTempo - Kedok Bisnis Pemeriksaan Instalasi Listrik

Sabtu, 18 September 2004.
Kedok Bisnis Pemeriksaan Instalasi ListrikTulus Abadi SH Koordinator Advokasi Ketenagalistrikan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia

Belum kering keringat konsumen dengan tingginya tagihan listrik akibat kenaikan tarif dasar listrik (TDL), belum reda pula protes-protes konsumen terhadap buruknya layanan PT PLN, kini konsumen listrik harus bersiap-siap menjadi "sapi perah" baru. Pasalnya, dalam waktu dekat ini, pemerintah, melalui Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi (Dirjen LPE), akan segera memberlakukan kebijakan bernama "pemeriksaan instalasi listrik".

Rencana kebijakan yang tidak bijak ini sungguh membuat konsumen terhentak, juga Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Alasannya, apalagi kalau bukan fulus? Biaya pemeriksaan itu akan dibebankan kepada konsumen, baik bagi calon pelanggan maupun konsumen lama yang sudah menikmati listrik. Biayanya juga lumayan besar, sekitar Rp 44-65 ribu per pelanggan.

Selain masalah biaya yang harus ditanggung konsumen, masalah yang tak kalah krusial adalah lembaga yang akan memungut biaya tersebut. Dalam hal ini, Dirjen LPE membentuk lembaga bernama Konsuil (Komite Nasional untuk Keselamatan Instalasi Listrik).

Lembaga ini cepat atau lambat akan menimbulkan permasalahan baru. Pertama, ia bersifat monopolistik dan berskala nasional. Secara normatif, lembaga ini bertentangan dengan UU Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan (UUKL). UUKL sama sekali tidak menyebut "binatang" bernama Konsuil. Bahkan ia bertentangan dengan UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat. UUKL hanya menyebut lembaga pemeriksa instalasi harus bersifat independen dan mengantongi izin kompetensi dari lembaga yang berkompeten mengeluarkan izin sertifikasi (misalnya Komite Akreditasi Nasional). Jadi, siapa pun person atau lembaganya, sepanjang independen dan mengantongi izin sertifikasi, boleh melakukan pemeriksaan instalasi. Tidak harus Konsuil!

Selain mengklaim independen, Konsuil juga mengklaim nirlaba. Maksudnya apa? Kata Direktur Jenderal LPE Dr. Yogo Pratomo kepada penulis, nirlaba artinya Konsuil tidak boleh melakukan investasi dan kegiatan lain di luar "bisnisnya", yaitu pemeriksaan instalasi. Padahal, biaya operasional Konsuil (termasuk gaji, gedung, dan lainnya) seluruhnya ditanggung konsumen. Bagaimana pemerintah akan mengontrol bahwa di lapangan Konsuil tidak melakukan investasi?

Bagaimanapun, independensi Konsuil layak diragukan. Karena, hampir semua petinggi Konsuil, baik yang duduk dalam Dewan Wali Amanah maupun eksekutif, adalah para "veteran" PT PLN, dan bahkan anggota Asosiasi Kontraktor Listrik Indonesia (AKLI) aktif. Bagaimana mungkin Konsuil akan secara netral-obyektif memeriksa produk yang dijual oleh PT PLN? Bagaimana mungkin jika yang memeriksa instalasi adalah anggota AKLI, sementara yang mengerjakan pemasangan instalasi juga AKLI, alias temannya sendiri? Konsuil tidak akan berfungsi efektif, bahkan hanya akan menciptakan "kolusi, korupsi, dan nepotisme baru" di bidang ketenagalistrikan.

Sebenarnya, secara historis, pemeriksaan instalasi listrik bukanlah barang baru. Sejak zaman listrik dikelola perusahaan Belanda (bernama Ogem, Gebeo, dan Aniem), hal tersebut sudah diberlakukan. Sebelum periode 1980-an, kebijakan pemeriksaan instalasi juga sudah ada, biayanya sebesar Rp 2 per volt ampere (VA). Entah kenapa, ketika hal ini dikonfirmasikan kepada PT PLN, kebijakan pemeriksaan instalasi itu kini hilang tak jelas rimbanya.

Pemeriksaan instalasi kembali menghangat dengan munculnya UUKL. Sebab, Pasal 48 ayat 3 UUKL secara tegas menyebutkan bahwa setiap instalasi tenaga listrik yang akan beroperasi wajib memiliki sertifikat laik operasi. Lantas, siapakah yang berwenang melakukan pemeriksaan instalasi dan bagaimana caranya?

UUKL hanya menyebutkan, setiap tenaga teknik dalam usaha ketenagalistrikan wajib memiliki sertifikat kompetensi (Pasal 48 ayat 5). Artinya, pengertian sertifikat kompetensi adalah tanda bukti pengakuan atas kompetensi dan kemampuan melaksanakan satu pekerjaan yang mencakup pengetahuan, keterampilan, keahlian, dan sikap kerja sesuai standar yang ditetapkan (Penjelasan Pasal 48 ayat 5).

UUKL juga menyebutkan, usaha ketenagalistrikan terdiri dari usaha penyediaan tenaga listrik dan usaha penunjang tenaga listrik (Pasal 8 ayat 1). Relevan dengan pemeriksaan instalasi tersebut, UUKL menyebutkan, usaha jasa penunjang tenaga listrik meliputi jenis usaha, antara lain, pengujian instalasi tenaga listrik dan pemeliharaan instalasi tenaga listrik (Pasal 8 ayat 4).

Jelas dan tegas, tidak satu pun kalimat yang menyebutkan bahwa pemeriksaan instalasi (harus) dilakukan oleh Konsuil. Sepanjang person/lembaga itu mempunyai kompetensi melakukan pemeriksaan, yang dibuktikan dengan kepemilikan izin sertifikasi, maka person/lembaga tersebut "sah dan meyakinkan" untuk melakukan pemeriksaan instalasi.

Soal pembebanan biaya kepada konsumen juga suatu kerangka kebijakan keliru. Sebab, selama ini posting untuk pemeriksaan instalasi sudah ada, sebesar Rp 2 per VA. Fakta ini bahkan diperkuat oleh salah seorang inisiator dan fasilitator pembentukan Konsuil yang mengatakan via pesan pendek (SMS) pada penulis pada 12 Agustus 2004 bahwa seharusnya calon pelanggan tidak boleh dibebani lagi dengan biaya pemeriksaan, karena sudah termasuk dalam biaya pemasangan instalasi. Mestinya konsep tetap jalan, tapi biaya diambil dari bagian yang dibayar calon pelanggan yang memang dialokasikan untuk pemeriksaan yang selama ini dinikmati kontraktor.

YLKI tidak mempersoalkan adanya kewajiban pemeriksaan instalasi. Selain karena sudah digariskan dalam UUKL, secara teknis pemeriksaan instalasi juga diperlukan untuk menjamin laik tidaknya instalasi listrik konsumen. Pemeriksaan instalasi secara umum bertujuan untuk melindungi kepentingan konsumen dari bahaya listrik, seperti kena setrum atau kebakaran.

Sialnya, sebelum UUKL diberlakukan, pemeriksaan instalasi malah "diputihkan" oleh pemerintah dan PT PLN. Pada prakteknya, konsumen hanya diberi jaminan tertulis oleh perusahaan pemasang instalatir (anggota AKLI) bahwa instalasi listrik di rumahnya sudah siap untuk dialiri listrik. Tetapi, hasil kerja AKLI yang diberikan dalam bentuk jaminan tertulis tersebut tidak pernah ada pihak ketiga yang melakukan "cek ulang" apakah yang dijaminkan oleh AKLI/perusahaan instalatir benar atau tidak.

Itu pun kalau instalasinya dipasang oleh petugas AKLI (yang minimal sudah mengantongi sertifikat pemasangan). Faktanya, sekarang ini banyak instalasi listrik konsumen yang dipasang oleh tukang batu atau bahkan tukang ojek, kemudian minta cap pengesahan ke AKLI (jadi AKLI hanya "jualan" cap saja).

Mencermati paparan di atas, mau tidak mau pemerintah harus mengkaji ulang pelaksanaan pemeriksaan instalasi, terutama menyangkut dua hal. Pertama, soal pembebanan biaya pemasangan kepada konsumen; dan kedua, soal lembaga tunggal yang akan melakukan pemeriksaan (Konsuil).

Di awal tulisan sudah dijelaskan bahwa posting biaya pemeriksaan sebenarnya sudah ada, yakni sebesar Rp 2 per VA. Hingga saat ini belum ada klarifikasi yang meyakinkan, kenapa kebijakan pemeriksaan instalasi yang sudah ada malah dihentikan, dan ke manakah "larinya" dana sebesar Rp 2 per VA ini: di PLN-kah atau "dikangkangi" perusahaan instalasi/AKLI?

Peluang paling ringan, kalaupun harus dikenakan kepada konsumen, hanyalah kepada konsumen/pelanggan lama. Tidak kepada calon pelanggan (pelanggan baru). Pemeriksaan instalasi kepada pelanggan/konsumen lama lebih pada konteks "pemeliharaan", karena instalasi dalam adalah milik konsumen--arena itu menjadi tanggung jawab konsumen.

Keberadaan Konsuil, yang katanya bersandar pada Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 437/K/30/MEM/2003 tentang Perubahan Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 01/P/40/M.PE/1990 tentang Instalasi Ketenagalistrikan dan Keputusan Nomor 200-12/44/600.4/2003 tentang Cara Penerbitan Sertifikat Laik Operasi Instalasi Tenaga Listrik, harus segera direkonstruksi. Bahkan, kalau perlu, Konsuil dibubarkan saja.

Kalaupun harus dibentuk lembaga independen, maka harus dibentuk dengan cara-cara yang transparan, akuntabel, dan kredibel. Dalam konteks ini, penulis sangat menghormati Pemerintah Daerah DKI dalam membentuk Dewan Transportasi Kota (DTK). Proses pembentukan DTK di DKI Jakarta dilakukan dengan cara yang sangat kredibel dan independen dengan melibatkan wakil-wakil dari lembaga swadaya masyarakat (salah satunya YLKI), akademisi, dan perusahaan angkutan. Seandainya Dirjen LPE bisa mencontoh proses pembentukan DTK, maka akan melahirkan profil Konsuil yang benar-benar kredibel dan independen.

Dirjen LPE juga melakukan kesalahan paradigmatis dalam berkomunikasi dengan publik. Terbukti, pesan yang diterima publik adalah beban baru berupa penambahan biaya pemeriksaan. Mestinya, jika Dirjen LPE "cerdas", paradigma komunikasi yang dikembangkan adalah pentingnya pemeriksaan instalasi itu sendiri. Soal biaya itu masalah teknis. Wacana itulah yang mestinya dikembangkan terlebih dahulu. Publik tentu akan sangat marah jika tiba-tiba ada aturan baru yang memberatkannya tanpa mengerti manfaat aturan baru tersebut.

Kebijakan publik yang baik tentu tidak cukup mendasarkan pada hitam-putihnya aturan yang ada. YLKI curiga, jika pemerintah tetap ngotot dengan format tersebut, maka bukanlah keselamatan dan kepentingan publik yang menjadi tujuan utama, tetapi justru sebaliknya: proyek baru! PT PLN seharusnya tidak bersikap taken for granted dengan kebijakan tersebut. Sebab, salah-salah malah jadi bumerang bagi PLN sendiri di saat belum membaiknya mutu layanannya kepada konsumen/pelanggan.

No comments:

Post a Comment