Senin, 9 Desember 2002.
Kedatwan Indra di Puncak MeruYogyakarta, 9 Desember 2002 00:17BUDAYAWAN Jawa, Darmanto Jatman, pernah melontarkan teka-teki: orang mana yang paling bisa menyesuaikan diri dari pengaruh kanan-kiri, dan tetap cocok dan bisa menyelaraskan pengaruh itu dengan pribadinya? Jawabnya: orang Jawa. Lihat saja, begitu Hindu masuk ke Jawa, ada sebutan Hindu Jawa. Islam masuk, terbit istilah Islam Jawa. Demikian pula ketika para misionaris Kristen datang, muncullah Kristen Jawa.
Hal serupa berlaku pada arsitektur keraton. Ketika Belanda turut dalam pembangunan Keraton Yogyakarta, emperan, yang merupakan elemen khas vila di Eropa, ikut nimbrung. Padahal, dalam arsitektur Jawa tak dikenal prinsip emperan atawa serambi yang luas. Setelah joglo dan emperan tadi berpadu, ternyata klop. Atap khas Jawa itu terkesan makin berwibawa lantaran ada halaman yang luas.
Bukan cuma emperan. Hiasan dan ornamen di Keraton Yogyakarta dan keraton lainnya di Jawa juga sarat dengan sentuhan Eropa. Campuran ini, menurut Darmanto, menunjukkan pemahaman bahwa rumah, termasuk keraton, adalah jasad hidup yang bisa berkembang. Paham dengan situasi yang tengah berkecamuk, bisa molor atau mengkeret sesuai dengan kebutuhan penghuninya.
Tapi, urusan kepandaian menerima pengaruh atau langgam sebenarnya bukan milik orang Jawa semata. Orang Melayu pun piawai meracik aneka gaya dalam arsitekturnya. Lihatlah Istana Maimoon di Deli Serdang atau Istana Siak di Sri Indrapura, Pekanbaru. Keduanya masih mempertahankan keunikan ornamen Melayu, meski dibuat dengan konstruksi ala Eropa.
Di Nusantara, keraton --berasal dari kata kedatwan, artinya tempat tinggal ratu-- berdiri dengan ciri masing-masing. "Tempat tinggal raja itu lahir dari kultur kebudayaan Hindu dan Buddha," kata Eko Budiharjo, arsitek bidang perkotaan dari Universitas Diponegoro (Undip), Semarang. Kultur ini mempengaruhi budaya Austronesia yang lebih dulu ada. Pengaruhnya, kata Eko, yang juga Rektor Undip, terasa pada keraton di Jawa dan Bali.
Di Sumatera dan Kalimantan, arsitektur istananya lebih bercorak Melayu-Islam, meski pada beberapa keraton unsur Hindu dan Buddha masih terlihat. Pengaruh Hindu-Buddha, umumnya, mewujud pada tata letak keraton, penataan bangunan, fungsi, dan ragam hiasnya. Unsur-unsur itu, selain melambangkan kekuasaan raja, juga mengandung makna yang sakral dan berbau magis. Lantaran luasnya pengaruh Hindu-Buddha maka terdapat banyak kesamaan antara keraton di Nusantara dan di Asia.
Di Jawa dan Bali, keraton merupakan perwakilan dari jagat raya menurut kosmologi kebudayaan Hindu-Buddha. Dalam pandangan Hindu, alam semesta berpusat pada sebuah benua bernama Jambudwipa. Benua ini dilingkari tujuh pulau, yang dipisahkan tujuh samudra. Di lingkar samudra terluar terdapat pembatas berupa barisan pegunungan besar.
Pada tengah Jambudwipa tegaklah Gunung Meru. Di puncaknya, para dewa bertahta, menghuni istana nan megah. Di sekeliling istana itu terdapat istana lain tempat para dewa lokapala, sang penjaga jagat. Konsep alam semesta ini hampir mirip dengan pandangan Buddha. Bedanya, pada batas terluar semesta ada dinding pelingkup jagat, yang disebut cakrawala. Selain itu, terdapat pula istana besar di empat penjuru mata angin, di lereng Meru, untuk menjaga dunia.
Gambaran kosmis ini dalam kompleks keraton diterjemahkan dengan menempatan bangunan tersuci di tengah bangunan lain. Penempatan itu juga menunjukkan pusat kekuasaan, sekaligus tempat tinggal raja. Di Keraton Yogyakarta dan Kasepuhan di Cirebon, Jawa Barat, Gunung Meru diwakili bangunan Prabayeksa. Di Pura Pakualaman, Yogyakarta, pusat sakralnya adalah Prabasuyasa. Di Pura Mangkunegaran disebut dalem ageng. Dan di Puri Klungkung, Bali, dinamakan ukiran, yang di dalamnya terdapat ruang giri (gunung) suci.
Penataan ini hampir mirip dengan susunan ruang di Istana Bangkok. Di sana, bangunan pusat yang bernama Gedung Paisal mempunyai tahta yang dinaungi payung bertingkat. Payung itu melambangkan lapisan langit di atas Gunung Meru. Tahta dengan konsep serupa dijumpai pula di Thagyanan, bangunan di pusat istana raja di kota Mandalay, Myanmar.
Thagyanan, yang berarti istana Indra, berfungsi sebagai tempat melangsungkan upacara penobatan raja. Istilah ini juga dipakai untuk menamai satu di antara bangunan di kompleks Keraton Yogyakarta, yakni Indrakila dan Ngendrasana. Istana Dewa Indra, dalam kosmologi Hindu-Buddha, memang digambarkan berada di puncak Gunung Meru.
Di utara dan selatan bangunan paling suci, biasanya, terdapat bangunan lain dengan susunan simetris. Di Keraton Yogyakarta, misalnya, berdiri Srimaganti Lor, Srimaganti Kidul, Kamendhungan Lor, Kamendhungan Kidul, serta Sitihinggil Lor dan Sitihinggil Kidul. Bangunan-bangunan itu melambangkan benua yang mengelilingi Meru.
Sedangkan tujuh halaman luas, yang memisahkan setiap bangunan di Keraton Yogyakarta, mewakili gambaran samudra. Pada batas terluar, yang dalam jagat Buddha terdapat "dinding" cakrawala, diwakili dengan tembok yang mengelilingi keraton. Di Pura Pakualaman dan Pura Mangkunegaran, pola ini juga dipakai. Cuma, kedudukan dua istana yang masih di bawah Keraton Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta membuat perwujudan pola itu lebih sederhana.
Kedudukan itu tercermin pula pada arah Pura Pakualaman yang menghadap selatan, ke Keraton Kesultanan Yogyakarta. Sama dengan Pura Mangkunegaran yang menghadap Keraton Kasunanan Surakarta. Umumnya, muka keraton di Jawa selalu menghadap ke utara, kecuali Keraton Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta yang bermuka dua.
Di Keraton Yogyakarta, muka yang menghadap utara melambangkan penghormatan terhadap Gunung Merapi yang memang terletak di utara kota Yogyakarta. Gunung itu dipercaya sebagai tempat bertahtanya para dewa pengatur jagat.
Muka lainnya menghadap Laut Selatan. Orientasi ini terkait dengan kepercayaan lampau yang menyebut raja-raja Mataram, cikal bakal Kesultanan Yogyakarta, punya hubungan dengan Nyi Roro Kidul, penguasa Laut Selatan. Dua arah hadap tadi membuat Keraton Yogyakarta memiliki dua alun-alun. Tidak seperti keraton lain, misalnya di Cirebon dan bekas Keraton Banten Lama, yang cuma punya satu alun-alun.
Lapangan terbuka di muka kompleks keraton merupakan warisan dari tata letak kota pada kerajaan Hindu. Kerajaan Majapahit dan Kediri dipercaya juga memiliki alun-alun yang disebut wanguntur. Pada masa lampau, alun-alun dipakai untuk melangsungkan upacara kenegaraan, arena latihan para prajurit, dan tempat berkumpulnya rakyat.
Bentuk dan tata letak bangunan pada kompleks keraton, termasuk alun-alun, mirip dengan tata kota kerajaan kuno di Asia Tenggara. Yakni, kota Angkor Thom di Kamboja dan kota Mandalay di Myanmar. Pada dua kota itu --sesuai dengan konsep samudra dan cakrawala pada kosmologi Hindu-Buddha-- kerajaan dibentengi dinding dan parit berdenah segi empat. Benteng ini dipakai pula di kota Yasodharapura, didirikan pada abad IX Masehi, di Kamboja.
Di pusat kota-kota itu juga terdapat bangunan suci. Di Angkor Thom berdiri kuil suci Buddha Mahayana. Sedangkan di Mandalay, istana raja menjadi pusat kesakralan kota itu. Menurut Henry Maclaine Pont, arsitek asal Belanda yang pernah meneliti kota-kota kuno di Indonesia, dinding dengan parit itu juga dipakai di Kerajaan Majapahit. Itu ditunjukkan pada dinding bata yang tersisa pada situs Majapahit di Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur.
Selain bangunan sakral, keraton memiliki bangunan profan. Satu di antaranya adalah area taman yang dilengkapi kolam. Di Keraton Yogyakarta, tempat ini bernama Tamansari. Di Puri Klungkung, Bali, dikenal Taman Agung. Sedangkan di Keraton Kasepuhan Cirebon disebut Taman Sunyaragi. Kolam pemandian tempat raja bercengkrama dengan istri atau selir ini ditemukan pula pada situs Majapahit dan Banten Lama. Kebiasaan membangun kolam ternyata juga ada pada istana Raja Candragupta Maurya, kota India Kuno.
Unsur Jawa dan Hindu-Buddha pada arsitektur keraton, menurut Maclaine Pont, kemudian banyak dipengaruhi gaya Cina, Arab, Yunani klasik, Belanda, dan Islam. Pengaruh itu melebur lantaran adanya kerja sama perdagangan antarbangsa, pergaulan sosial, sampai penjajahan. Pengaruh Cina termaktub pada hiasan burung phoenix atau naga di tegel, pintu masuk, atau jambangan.
Arab memberikan motif bunga dan dekorasi batu bata. Tiang-tiang yang menonjol pada dinding dipengaruhi gaya Yunani klasik. Belanda menyumbangkan pengaruh pada bentuk atap yang sederhana, tegel, dan konstruksi lantai batu bata. Di Keraton Kasepuhan Cirebon, misalnya, tegel didatangkan dari Delf, Belanda. Semua tegel hiasan di bangsal dan pintu gerbang merupakan buah tangan VOC.
Pengaruh Islam tercermin pada ukiran struktur penopang dan hiasan di pintu atau papan penyekat. Napas ini makin kencang pada arsitektur keraton di Sumatera dan Kalimantan. Di daerah ini, Islam berpadu dengan kultur Melayu yang juga membawa sisa kebudayaan Hindu-Buddha. Pengaruh Islam bermula dari orang Tazi atawa Ta-shih (Arab), yang bermukim di pantai barat Sumatera pada sekitar tahun 647.
Dari wilayah ini, perdagangan di Sumatera mulai dibuka. Para pedagang yang berasal dari Persia dan Gujarat, India, membawa serta kebudayaan membangun. Di Jawa, Islam juga mulai masuk. Pada 1281, berdiri permukiman muslim, berdampingan dengan masyarakat Majapahit yang umumnya memeluk Hindu. Berbeda dengan Hindu yang membawa pengaruh kuat pada arsitektur, misalnya bangunan candi, Islam semata mengembangkan arsitektur lokal.
Ernst J. Grube, guru besar seni Islam di Universitas Venice, Italia, menyebut bangunan Islam pada hakikatnya memakai teknik membangun di wilayah yang sudah ditaklukkan. Atau paling tidak di tempat pengaruh Islam itu sungguh kuat. Arsitektur Austronesia, yang merupakan warna lokal di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, banyak dipakai dan berkembang dengan pengaruh Islam. Cirinya adalah bangunan yang menggunakan konstruksi kayu dan lekat dengan langgam tradisional.
Kerajaan Islam pertama di Indonesia, Samudra Pasai (abad XIII), dipercaya menggunakan kanstruksi kayu untuk istananya. Gayanya kental dengan pengaruh Melayu. Gaya ini ditularkan dari Istana Perlak (Peureulak), kerajaan Islam pertama di Asia Tenggara di Teluk Kambey, India. Seiring dengan derasnya arus perdagangan, pengaruh dari luar, Malaka, India, dan Arab, ikut melebur sampai ke Jawa, Kalimantan, dan Nusa Tenggara. Kesultanan Ternate (1500), misalnya, memiliki istana dengan arsitektur campuran rumah panggung Melayu dengan tipologi bangunan India.
Ciri serupa terdapat di Istana Kadriyah di Pontianak, Kalimantan Barat, Istana Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur. Kesultanan Bima dan istana di Johor. Kuning umumnya mendominasi warna istana. Warna ini dipercaya membawa kemakmuran dan kesuburan. Kebanyakan, istana di luar Jawa-Bali menghadap ke sungai atau bandar, yang memang jadi pusat keramaian. Arah utara-selatan, seperti dalam kosmologi Hindu-Buddha, tak banyak dipakai. Ini lantaran ada pengaruh tauhid dalam ajaran Islam.
Pengaruh ini melarang untuk menggambar makhluk bernyawa. Maksudnya, supaya tak ada yang disembah selain Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai gantinya, hiasan atau dekorasi dinding pada istana diganti hiasan kaligrafi, bentuk-bentuk geometris bergaya Arab. Meski begitu, masih ada konsep Hindu yang dipakai beberapa istana di Sumatera. Satu di antaranya adalah istana Aceh pada abad XVII.
Istana ini dikenal dengan nama Dar'ad-Dunya, atawa "Kampung Dunia". Bangunannya banyak kesamaan dengan keraton di Jawa. Tata letaknya juga menganut poros utara-selatan. Kemungkinan, kesamaan ini karena kembalinya Sultan Nasiruddin Muhammad dari Iran ke Delhi, India, yang membawa seniman Hindu dari perantauan di Samarkand, sekarang Uzbekistan. Pada perkembangannya, arsitektur istana dengan pengaruh Islam juga dipengaruhi teknik membangun ala Eropa.
Teknik ini dibawa Belanda saat masuk ke Indonesia. Namun, para ahli bangunan Eropa tak begitu saja mengubah arsitektur lokal. Gaya lokal yang sudah ada digabungkan dengan langgam lain. Tentunya, menurut selera sang sultan dan masih mempertahankan napas Islam. Perpaduan ini bisa dilihat pada Istana Siak di Sri Indrapura, Pekanbaru, Riau, dan Istana Maimoon, di Deli, Medan, Sumatera Utara.
Istana Siak dibangun pada 1889 sampai 1893, saat berkuasanya Sultan Assayidis Syarif Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin, Sultan Siak ke-11. Perancangannya dilakukan seorang arsitek asal Jerman. Sayangnya, tak ada catatan yang menyebutkan nama sang perancang. Dari karya wong Jerman itu bisa disimak sebuah istana yang mengadopsi arsitektur Eropa, Spanyol, Arab, dan India.
Badan bangunannya bergaya kolonial Belanda. Atapnya sama dengan kubah pada masjid. Bentuknya yang bulat, mirip bawang, menyerupai kubah pada bangunan di Persia dan India. Gaya Spanyol tercermin pada bentuk pintu yang membusur pada puncaknya. Perpaduan ini makin rame dengan empat menara di tiap sudut bangunan. Gaya menara berbentuk silinder ini mirip dengan bangunan istana para bangsawan di Iran, Irak, Anatolia (Asia Kecil), dan Kerajaan Islam Ustmani di Konstantinopel.
Sedangkan Istana Maimoon dibangun saat Kesultanan Deli dipegang Sultan Makmun Al-Rasyid Perkasa Alamsyah (1873-1924). Di masa itu, Deli dan sekitarnya menjadi surga bagi pedagang tembakau dunia. Sedikitnya ada 41 perusahaan dagang Eropa yang berkantor di Deli. Ini membuat pengaruh Eropa mengakar di istana yang dirancang arsitek Italia itu. Pintunya dibuat besar, dan pembagian ruangnya khas bangunan Belanda. Gaya ini berpadu dengan unsur Islam yang tersemat pada arkade yang melengkung dan bagian atap. Lengkungan berbentuk perahu terbalik itu banyak dijumpai pada bangunan di Timur Tengah, Turki, dan India.
Pengaruh yang melebur dalam arsitektur istana dan keraton, menurut Eko Budiharjo, menunjukkan bahwa bangunan sangat peka dengan lingkungan di sekitarnya. "Bahkan bisa mengikuti perkembangan masyarakatnya," kata Eko. Termasuk perubahan politik dan kepercayaan. Jika keadaannya seperti itu, lantas tebakan Darmanto Jatman tadi bisa saja dibalik: siapa orang yang kebal terhadap pengaruh dari luar? Adakah?
[Sigit Indra, Syamsul Hidayat (Semarang), Kristiyanto (Yogyakarta), Syafriyal (Riau), dan Rosul Sihotang (Medan)]
[Arsitektur Keraton, GATRA, Edisi Khusus Beredar Kamis 28 November 2002]
No comments:
Post a Comment