Sabtu, 21 Desember 2002.
Ekbis
Kwik Pertanyakan Perubahan Keppres R&D Menjadi Inpres
21 Desember 2002
TEMPO Interaktif, Jakarta:Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Kwik Kian Gie kecewa dengan sikap Presiden Megawati yang memutuskan untuk mengeluarkan surat pembebasan (release and discharge) bagi sejumlah pengutang kakap dari segala tuntutan hukum. "Saya sudah melakukan perlawanan yang sekeras-kerasnya dalam sidang kabinet," ujarnya usai jumpa pers evaluasi akhir tahun Balitbang PDIP, di Jakarta, Sabtu (21/12).
Kwik juga mempertanyakan perubahan surat R&D yang semula direncanakan berupa Keputusan Presiden menjadi Instruksi Presiden. "Saya sendiri termasuk yang terkejut mengapa kok tiba-tiba yang dipakai adalah Inpres. Karena yang terjadi dalam sidang kabinet kemarin adalah Keppres."
Bahkan, kata dia, Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) telah membuat draf Keppres beberapa waktu lalu. Draf itu telah digandakan dan dibagikan kepada para menteri.
Di akhir sidang kabinet yang berlangsung sekitar satu setengah jam itu, kata Kwik, presiden memutuskan, "Ya sudah Keppres." Selanjutnya, kata Kwik menirukan presiden, yang menjadi masalah tinggal siapa yang akan membantu (presiden) untuk menulis Keppres.
Menurut Kwik, menulis Keppres biasanya menjadi tugas Sekretariat Negara (Setneg). Tetapi kali ini memerlukan bantuan menteri karena materinya khas, di samping Setneg tidak menguasai semua materi. "Setneg lebih menguasai materi hukumnya," katanya.
Dia menduga, kemungkinan besar setelah sidang kabinet terjadi pembicaraan antara menteri-menteri yang harus menulis materi surat R&D dengan Setneg. Hingga akhirnya mungkin dianggap lebih kuat kalau bentuknya Inpres.
Kendati demikian, Kwik mengatakan, implikasi atas terbitnya Keppres atau Inpres pun sama saja, yaitu tanggung jawab di tangan presiden. Karena Indonesia menganut sistem ketatanegaraan presidensiil, di mana yang memberi keputusan, perintah, dan bertanggung jawab adalah presiden. "Tapi kalau ingin tahu nuansanya, perbedaan antara Keppres dan Inpres, yang paling tepat tanya ke Pak Bambang Kesowo," kilahnya.
Kwik mengaku, meskipun kalah dalam perdebatan melawan banyak menteri, ia terus introspeksi. "Apa betul saya yang bener. Setelah berpikir lama sekali, saya yakin bahwa saya yang betul. Kecuali kalau ada argumentasi yang lebih kuat yang bisa membantah," katanya.
Kwik menegaskan, alasan penerbitan surat pembebasan yang mengacu pada Tap MPR dan Propenas itu kurang tepat. Dalam tap MPR, katanya, digunakan kata kepastian hukum yang maknanya tidak identik dengan pembebasan orang dari hukuman. "Menghukum pun itu kepastian hukum. Itu yang mereka (menteri lain) tidak mau tahu. Tidak ada argumentasi sedikit pun, tetapi secara dogmatis terus-menerus menyebut tap MPR. Ini yang sampai saat ini saya tidak mengerti," ujarnya gusar.
Sedangkan dalam Propenas, menurut Kwik, disebutkan bahwa MSAA harus dilakukan secara konsisten. Pasal lain menyebutkan, MSAA hanya berlaku bila ditandatangani oleh Menkeu, Kepala BPPN, dan Jaksa Agung. Padahal selama ini Jaksa Agung mulai Andi Ghalib sampai sekarang tidak ada yang pernah menandatangani MSAA. "Bagaimana bisa konsisten," ujarnya.
Sementara itu, Balitbang PDI-P dalam evaluasi akhir tahunnya, merekomendasikan perlunya pemerintah memberikan kepastian hukum sekaligus penegakan hukum. Karena keduanya tidak bisa dipisahkan. "Kepastian hukum saja, tanpa penegakan hukum itu tidak sempurna dan menimbulkan ketidakadilan," kata anggota Balitbang PDIP Sukowaluyo.
Surat R&D, menurutnya, hanya memberikan kepastian hukum, tetapi mengabaikan aspek penegakan hukum. Karena itu Balitbang menghendaki keduanya harus dilaksanakan sekaligus. "Itu hasil diskusi balitbang," katanya. (Retno Sulistyowati-Tempo News Room)
No comments:
Post a Comment