Cari Berita berita lama

Republika - Program Legislasi DPR Masih Bermasalah

Rabu, 14 Pebruari 2007.

Program Legislasi DPR Masih Bermasalah






UU penegakan hukum memang ada produknya, tapi hanya sekadar teks.





JAKARTA -- Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) menilai program legislasi di DPR bermasalah karena hanya pada kuantitas dan tidak perfokus dalam pemilihan isu untuk kebijakan publik. Pemilihan isu politik masih mendominasi dalam prolegnas. ''Prolegnas masih banyak problematikanya, terutama soal perencanaan monitoring, isu untuk kebijakan publik belum matang. Yang dikumpulkan adalah judul UU dan daftar prioritas tahunannya saja,'' kata Savitri Susanti dari PSHK dalam diskusi awal tahun, Selasa (13/2). Menurutnya, unsur partisipasi juga minim dalam pembentukan UU. Padahal, katanya, partisipasi minim itu menentukan kualitas dan keberpihakan sosial dari UU tersebut. Jadi, seharusnya, partisipasi itu dibuka secara lebar agar kualitas UU itu bisa maksimal. ''Kita jangan terpaku pada kuantitas, harus dilihat kualitasnya seperti apa.'' Soal unsur pilihan dalam Prolegnas 2006, sambungnya, masih cenderung pada kuantitas. Dari hasil kajian PSHK, prolegnas masih memprioritaskan!
UU pemekaran wilayah. Soal UU penegakan hukum memang ada produknya, tapi hanya sekadar teks. Untuk Prolegnas 2007, dia menilai, kecenderungan tersebut masih terjadi. Dari segi kuantitas, kata Savitri, ada beberapa UU penegakan hukum yang masuk dalam daftar prolegnas. Contohnya adalah soal kontroversi kasus-kasus korupsi di daerah, ratifikasi, dan lain-lain. Dari produk legislasi yang ada, PSHK menilai adanya tren delegasi luar biasa tanpa kehati-hatian. PSHK mengacu pada hasil analisis Universitas Syah Kuala atas UU Pemerintahan NAD. Dari UU tersebut, lahir 99 delegasi berupa 18 Peraturan Pemerintah, 13 Peraturan Presiden, satu Peraturan Gubernur, satu Keputusan Bupati, delapan Tata Tertib, dan lain-lain. Untuk banyaknya delegasi dari UU tersebut, Savitri menyatakan bahwa itu adalah gejala yang wajar. Karena, masalah teknis tak bisa semuanya termuat dalam UU. ''Boleh saja ada delegasian. Tapi, DPR harus hati-hati dan ada pembatasan kriteria yang jelas.'' PSHK juga menila!
i, untuk Prolegnas 2007, DPR dan pemerintah masih memfokuskan !
pada pak
et UU Politik. Kecenderungan tren Prolegnas masih terjadi seperti hanya terbatas pada teks dan 'rebutan porsi' di Senayan. Paket UU Politik itu, antara lain, UU Susunan dan Kedudukan (Susduk), UU Politik, UU Pilkada, UU Pemda, UU Ormas, KPK, Hakim Agung, dan lain-lain. ''Malahan, saking pentingnya, DPR menyebutnya (paket politik) itu sebagai prioritas utama,'' sambung Savitri. Menanggapi penilaian tersebut, anggota FPDIP dari Komisi II Eva Sundari menyatakan, ''Memang betul, kondisinya seperti inilah yang terjadi. Di sisi input, capacity building, kualitas, dan lainnya, masih ada masalah. Kita menyoroti, harusnya yang dibuka bukan soal partisipasinya saja di sini. Kita harus libatkan juga transparansi dalam proses legislasi.'' Meski dia membenarkan soal kajian PSHK itu, Eva menegaskan, UUD 1945 memang memberikan otoritas legislasi kepada DPR. ''Tapi, kekuatan eksekutif justru lebih besar dalam hal ini.'' Dia memberikan contoh dalam Prolegnas 2007. Ada 30 UU yang didaftarkan!
untuk dibahas dalam Prolegnas tahun ini. Dari jumlah itu, 23 UU itu drafnya diajukan oleh eksekutif, enam UU drafnya dari DPR, dan satu lagi masih dalam posisi negosiasi antara Legislatif dan Eksekutif. Eva menilai, dalam proses legislasi, seharusnya Menteri Hukum dan HAM berposisi sebagai center of law. Hanya, selama ini tak ada kerangka kerja yang jelas. ''Fungsinya hanya teknis, yaitu bila ada masalah struktural dari eksekutif maupun legislatif. Seharusnya, kita berharap lebih dari fungsinya sebagai center of law.''
(wed )

No comments:

Post a Comment