Cari Berita berita lama

Republika - Hantu Kelumpuhan Pencari Teripang

Selasa, 19 Desember 2006.

Hantu Kelumpuhan Pencari Teripang












Lamba (27 tahun), pria berkulit legam terlihat berjalan perlahan seperti orang yang baru belajar jalan. Tangan kanannya mencengkeram kuat pagar halaman rumahnya. Sementara tangan kirinya memegang tongkat. Pria ini adalah satu dari sedikitnya 60 warga Pulau Barrang Lompo, Sulawesi Selatan, yang menderita lumpuh. Sudah lima tahun, Lamba menjalani hidup sehari-seharinya dengan kondisi seperti itu. Sebelumnya, ia adalah pemuda tanggung yang sangat piawai menyelam dan mencari teripang. Menjadi pencari teripang sudah dilakoninya sejak usia belasan. Hampir sembilan tahun lamanya, ia dan sejumlah rekannya kerap meninggalkan Pulau Barrang Lompo selama berbulan-bulan untuk mencari binatang laut berkulit duri tersebut. Pencarian hewan yang hidup di dasar laut ini dilakukannya hingga ke perairan Luwuk Banggae, Sulawesi Tengah. Suatu ketika, Lamba bersama sejumlah nelayan lainnya berlayar hingga ke Luwuk Banggae. Di situlah mulanya ia mengalami kecelakaan. ''Mulanya saya hanya pus!
ing dan lemas. Tapi tiba-tiba seluruh tubuh saya sukar digerakkan,'' ujar dia. Setelah kejadian itu, Lamba tak bisa lagi melaut. Padahal ketika masih sehat, dari hasil tangkapan teripangnya ia bisa mengantongi uang Rp 300 ribu sekali turun laut. Pemuda yang menjadi tumpuan ekonomi keluarga nelayan tersebut kini tak bisa berbuat banyak. Kemahirannya menyelam dan mencari teripang tinggal kenangan. Untuk menggerakkan kaki di darat saja ia kesulitan apalagi di tengah laut. Sebetulnya, Lamba ingin sekali berobat ke dokter. Namun karena tak memiliki uang, ia hanya bisa pasrah. ''Mudah-mudahan pemerintah mau membantu kami yang miskin ini. Paling tidak mengirim tenaga medis khusus ke pulau,'' ujarnya. Teripang atau sea cucumbar (timun laut) merupakan komoditas laut yang cukup menggiurkan. Hewan ini hidup pada kedalaman lebih dari 30 meter. Di pasar lokal, harga teripang Rp 50 ribu hingga Rp 150 ribu per kilogram. Beberapa jenis teripang merupakan komoditas perikanan yang diperdag!
angkan secara internasional. Karena harganya yang amat menggiu!
rkan itu
, banyak pihak yang mencoba mencari teripang di manapun berada. Perburuan teripang oleh nelayan Madura dan Bugis bahkan sampai kawasan terumbu Ashmore di perairan utara Australia. Menurut Lurah Pulau Barrang Lompo, Andi Musyarafah Baso Lewa, sebagian besar lelaki di pulau berpenduduk sekitar 4.000 jiwa ini, menggeluti pekerjaan sebagai pencari teripang. Mereka tidak saja mencari teripang di sekitar pulau seluas 49 hektare tersebut, tetapi berlayar menggunakan perahu motor berkapasitas tiga ton hingga ke perairan Luwuk Banggai, bahkan sampai ke Kalimantan. Menurut Musyarafah, setiap bulan ada saja warganya yang menjadi lumpuh. "Sejak tahun 2000 hingga 2006, jumlahnya sudah lebih 60 penderita kelumpuhan, 13 di antaranya meninggal dunia," ungkap dia. Kepala Puskesmas Pembantu (Pustu) Pulau Barrang Lompo, Nurliah, juga membenarkan hal itu. Menurut Nurliah yang rutin mengobati pasien lumpuh di pulau tersebut bersama dua tenaga medis honorer alumni Akademi Perawat, korban kelump!
uhan akibat menyelam selama 2006 saja ada sebanyak 38 orang. ''Dua di antaranya sudah meninggal,'' ujar Nurliah. Menurut dia, pasien biasanya dibawa ke Pustu setelah terserang kelumpuhan di lautan dan berlayar selama berhari-hari. Mereka yang cepat mendapat pertolongan, kondisinya lebih beruntung karena dirawat, diberi infus, bantuan oksigen, vitamin, dan menjalani terapi. Sedangkan korban yang hanya dibiarkan berbaring di rumahnya, keadaannya semakin parah, bahkan bisa mengalami lumpuh total. Para penyelam di pulau itu hampir tidak pernah memeriksakan kesehatannya sebelum menyelam. Biasanya, mereka menjadi korban karena kondisi kesehatannya tidak normal, terutama tekanan darahnya. Menurut dia, seorang penyelam berusia 20 tahun hingga 30 tahun, idealnya mempunyai tekanan darah 120/80. ''Kalau di bawah atau di atas standar itu kondisinya sangat rentan,'' tutur dia. Saat ini, untuk melakukan penyembuhan bagi korban lumpuh di pulau itu, pihaknya dibantu lembaga Rehabilitasi B!
ersumberdaya Masyarakat (RBM). Lembaga tersebut khusus menanga!
ni orang
cacat bekerja sama lembaga swadaya dari Australia yang dipimpin dr Robert V Philips. Hingga kini, ada dua petugas RBM yang sangat rajin ke Barrang Lompo untuk memberikan terapi dan penyuluhan kepada warga. Penyebab kelumpuhan yang terjadi pada para penyelam tersebut diduga karena peralatan yang mereka gunakan tidak memenuhi standar. Para pencari teripang itu tidak menggunakan tabung oksigen atau peralatan standar untuk menyelam. Mereka hanya memakai alat buatan sendiri, berupa selang udara yang disambungkan ke mesin pemompa udara sebagai alat bantu pernapasan selama berada di bawah air. Buang Lanti (34 tahun), ayah empat anak yang juga mengalami nasib serupa rekan lainnya yang lumpuh mengatakan, penyelaman mencari teripang biasanya dilakukan sampai kedalaman 20 meter. ''Kita bisa ada di bawah laut sampai 20 menit hanya dengan selang udara dari kompresor,'' ujarnya. Sejak lumpuh, Buang tak pernah berobat ke dokter. Selain tidak punya biaya, ia mengaku takut disuntik. Buang !
juga menuturkan ketakutannya berobat ke dokter karena beberapa korban yang berobat ke Makassar malah didiagnosis menderita stroke dan umumnya meninggal setelah disuntik. Meski kondisinya tak separah Lamba, Buang mengaku sangat tersiksa dengan kondisinya.
(andi nur aminah )

No comments:

Post a Comment