Selasa, 27 Agustus 2002.
Mimpi dari Mitos BatutulisJakarta, 27 Agustus 2002 17:42KETIKA membaca alur cerita hingga munculnya kasus situs Batutulis di Bogor, Jawa Barat, saya teringat akan watak masyarakat tradisional yang percaya pada mimpi dan berbagai takhayul. Mereka dikendalikan feeling yang ditafsirkan dan diyakini sebagai kebenaran. Manusia, dalam kondisi masyarakat seperti itu, berada di bawah kendali alam, "wahyu", atau tradisi-tradisi lokal, tanpa bisa mengekspresikan eksistensi dirinya sebagai subjek yang otonom. Potensi sumber daya alam yang hendak digarap atau digali dianggap baru boleh dilakukan apabila ada isyarat "izin dari penjaga" atau "pemilik alam". Dan mereka yang berhasil memperoleh keberuntungan adalah orang-orang yang sudah ditakdirkan untuk itu.
Dalam telaah sejarah sosial, kondisi masyarakat seperti itu tergolong dalam tahapan cosmos century atau, menurut sosiolog Auguste Comte, termasuk dalam tahap perkembangan pengetahuan masyarakat yang teologis dan atau setidaknya berwatak metafisik. Pengertian teologis menunjuk pada cara manusia dalam memahami dunia dan atau kebenaran yang bersumber pada agama dan kepercayaan masyarakat; sementara metafisik menunjuk pada penjelasan tentang dunia atau fenomena alam yang bersifat sangat spekulatif.
Tidak ada yang rasional dalam kedua tahap perkembangan pengetahuan masyarakat itu. Sehingga, segala keputusan yang diambil, termasuk berbagai kebijakan para penguasa, selalu diambil berdasarkan doktrin, ajaran, dogma, keyakinan, mitos, perasaan, dan spekulasi.
Kendati memang kita harus mengakui bahwa sebagian masyarakat kita masih ada dalam kedua tahapan itu, secara umum perkembangan dunia sekarang jelas sangat berbeda. Kita sudah berada dalam era yang sarat dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), di mana segala sesuatunya haruslah didukung dan dibuktikan oleh fakta-fakta empirik. Iptek sudah bisa melakukan itu semua, sehingga segala keputusan dan kebijakan pun haruslah berdasarkan data dan informasi yang akurat dan valid. Karena itu, segala mitos, takhayul, atau kepercayaan yang tidak berdasarkan fakta-fakta empiris masih harus diragukan, dan tak boleh diacu.
Di sinilah ironisnya. Menteri Agama, Said Agil Al-Munawar, mempertontonkan sebuah kebijakan yang diambil berdasarkan spekulasi, sarat dengan mitos dan takhayul. Dan seperti yang kita baca, dengar, dan saksikan bersama, hasilnya nihil. Segala informasi yang berangkat dari yang ia percayai adalah omong kosong adanya.
Dampaknya pun fatal. Di samping sudah pasti merusak satu di antara warisan sejarah budaya bangsa ini, melanggar Undang-Undang Nomor 5/1992 tentang Cagar Budaya, juga menunjukkan citra bahwa pemerintah kita masih mengabaikan iptek dalam mengambil keputusan. Singkatnya, pemerintah, khususnya Menteri Agama, telah melakukan pelanggaran etis masyarakat modern, pelanggaran terhadap hukum, dan pelanggaran terhadap warisan budaya.
Yang lebih fatal, motif perusakan situs Batutulis itu berkaitan dengan upaya memburu harta karun yang tak jelas, memburu harta untuk negara. Menteri Agama barangkali hendak menunjukkan kapasitas tradisional-takhayulnya kepada presiden dan bangsa ini yang tetap eksis di era modern. Ia mempercayai mitos dan takhayul. Padahal, sebagai orang Islam, hal itu sebenarnya sudah merupakan tindakan syirik (menduakan Tuhan), dan kesyirikannya itu dipertontonkan kepada publik. Lebih celakanya lagi, karena yang berperan menghidupkan mitos dan takhayul itu adalah Menteri Agama bangsa ini, yang justru sebenarnya mesti jadi panutan untuk tidak syirik.
Pertanyaannya, apakah figur sekaliber Said Agil Al-Munawar sebagai Menteri Agama tidak menyadari bahwa tindakannya merupakan sejumlah pelanggaran hakiki? Mengapa pula ia lebih cenderung mengikuti kepercayaan irasionalnya dalam mengambil keputusan? Karena tidak masuk akalnya tindakannya itu, lalu Said Agil dikait-kaitkan dengan habitat atau basis sosial keagamaannya, yakni "karena dia orang Nahdlatul Ulama (NU)". Argumennya sangat sederhana: "orang NU masih mempercayai takhayul dan mitos", sehingga tindakan Said Agil dianggap dipengaruhi kuat oleh tradisi basis komunitasnya itu.
Arugumen seperti itu tentu saja tidak keliru, namun bukan berarti selalu benar. Said Agil Al-Munawar memang orang NU, dan pernah menjadi pengurus di lembaga Syuriah Pengurus Besar NU. Tetapi, bukan berarti tindakannya itu merupakan representasi kultur dan komunitas NU sekarang. Sebab, pada dasarnya, NU sekarang telah mengalami proses pemberdayaan, dengan terus-menerus melakukan reinterpretasi terhadap dogma, doktrin, dan kulturnya. Singkatnya, "NU baru" telah secara terus-menerus melakukan kontekstualisasi budaya, sesuai dengan perkembangan zaman, di mana nilai-nilai kebenaran dicoba dilakukan pencariannya melalui proses pengayaan metodologis.
Itu artinya, kalau toh Said Agil Al-Munawar melakukan tindakan keliru, itu lebih karena ia merupakan orang terpelajar di NU yang menjauhkan diri dari sentuhan-sentuhan kelompok NU progresif yang melakukan pemberdayaan itu. Dan, peristiwa sekarang bisa sekaligus menjadi satu jebakan bagi NU, yang diawali dengan kesalahan Presiden Megawati merekrut orang yang pas dari NU untuk menjadi anggota kabinetnya.
[Laode Ida, Doktor sosiologi, alumnus Universitas Indonesia, Direktur Pusat Studi Pengembangan Kawasan, Jakarta]
[Kolom, GATRA, Nomor 41 Beredar Senin 26 Agustus 2002]
No comments:
Post a Comment