Cari Berita berita lama

KoranTempo - Saya Pernah Gagal dalam Bisnis

Sabtu, 16 Oktober 2004.
Saya Pernah Gagal dalam BisnisBaru-baru ini lembaga konsultan keuangan internasional Ernst and Young menobatkan bos Garudafood Sudhamek Agung Waspodo Soenjoto sebagai Entrepreneur of The Year 2004. "Bagi saya, ini pengakuan sebagai pengusaha," katanya.

Menurut Presiden Direktur PT Garudafood ini, penghargaan itu diterima karena dirinya dianggap berhasil dalam beberapa hal, yakni semangat inovasi, visi yang kuat, komitmen pada bisnis awal, dan mengubah kacang dari industri rumahan menjadi industri bermerek yang diterima mancanegara. Untuk mengetahui lebih mendalam sepak terjang dalam menjalankan bisnisnya, Tempo mewawancarai Sudhamek di ruang kerjanya, pada Selasa silam (12/10). Berikut ini petikannya:

Bisa dijelaskan awal Anda memulai karier di dunia bisnis?
Begini, setelah keluarga menyekolahkan saya, saya tak bekerja di perusahaan keluarga agar tidak membebani. Saya justru bekerja di perusahaan lain agar mendapatkan pengalaman berharga, ketimbang di perusahaan keluarga yang ukurannya masih kecil. Belakangan, waktu saya sudah bergabung dengan Garudafood, baru saya tahu, kalau ayah (almarhum) menyesali keputusan saya bekerja di perusahaan lain.

Apa pengalaman yang Anda peroleh dari perusahaan lain?
Pekerjaan di sana menjadikan saya generalis, karena saya asisten Presiden Direktur Gudang Daram yang menangani urusan hukum, treasury, sampai perekrutan pegawai. Di Djuhar Group saya juga belajar entrepreneurship dan mengetahui bahwa kepemilikan saham adalah isu paling sensitif, yang setiap saat bisa jadi kekuatan atau meledakkan (bencana). Ini semua modal saya ketika mengelola perusahaan sendiri. Tentu pengalaman paling lengkap saya terima dari Garudafood karena harus membenahi dari pangkal sampai ujungnya.

Sejak Anda masuk Garudafood (Oktober 94), apa kemajuan yang dicapai?
Kalau diilustrasikan, perusahaan ini mengalami peningkatan 40 kali lipat. Dulu, waktu saya masuk, produknya baru kacang kulit, sekarang kami memproduksi aneka biskuit/wafer, permen, jeli, bahkan minuman berjeli. Dalam 10 tahun, dari satu item sudah menjadi 80-an item produk. Omzet perusahaan dari Rp 18 miliar setahun merangkak menjadi Rp 1,3 triliun pada akhir tahun ini. Dulu pabrik cuma satu di Pati, sekarang sudah ada tujuh: 2 di Pati, 1 Surabaya, 2 Tangerang, 1 Cimahi, dan 1 Lampung. Sekarang, kami menguasai 70 persen pangsa pasar kacang dan pasar jeli 60-an persen. Pasar biskuit kami juga terbesar, yakni 30-an persen.

Kenapa Anda membenahi Garudafood mulai dari distribusi?
Filosofinya sederhana saja. Kalau Anda mau bisnis maju, perlu berbenah diri dan itu butuh uang. Uang itu ada, kalau Anda bisa menjual. Supaya bisa menjual, distribusi harus dibereskan dulu. Kami pun tak langsung masuk kota, tetapi pinggiran atau dari desa mengepung kota. Apalagi, waktu itu posisi kompetitor di kota-kota besar sudah kuat. Bayangkan, kami harus berhadapan dengan 18 merek yang sudah punya pelanggan sendiri. Sedangkan produk kami mereknya belum terkenal, omzetnya kecil. Mana ada distributor yang mau jungkir balik untuk kami. Lain kalau Unilever, semua distributor justru berebut, seperti mau melamar putri cantik. Kami, siapa yang mau melamar?

Kelihatan inovasi produk terjadi setelah Anda masuk?
Begini. Keluarga kami yang menciptakan apinya, saya datang membawa bahan bakarnya. Sekarang itu menjadi api yang besar. Kakak-kakak saya dulu tak sempat mengecap pendidikan tinggi seperti saya. Karena waktu dulu, bisnis ayah jatuh bangun sehingga setiap anak lulus SMA ditarik dan disuruh membantu demi kehidupan keluarga sehingga tak sekolah lagi.

Bagaimana Anda menghadapi persaingan dengan produsen sejenis?
Tetap hati-hati. Apalagi, kompetitor sudah ada yang tegas melakukan strategi imitatif. Bosnya bilang, pokoknya kita di belakang Garudafood. Mereka bikin apa, kita ikut. Kami harus mewaspadai strategi ini karena seorang imitator pun bisa menyalip di tikungan. Selain itu, yang produk kami punya nilai tambah. Sepanjang perusahaan itu inovatif, nilai tambah bisa diciptakan. Waktu masuk minuman, kami masuk lewat minuman berjeli yang menghilangkan haus dan mengenyangkan sehingga beda dengan pesaing. Untuk produk biskuit atau wafer, mungkin macamnya sama dengan produsen lain, tetapi harganya lebih murah. Kami yang pertama kali merintis biskuit seharga Rp 500. Itu kini ditiru oleh produsen makanan lain. Jadi apa pun produknya bisa diinovasi tidak cuma rasa, warna, kemasan, tapi juga harga.

Anda pernah mengalami kegagalan dalam bisnis?
Saya pernah (gagal), yaitu waktu di perusahaan stainless steelerusahaan ini bangkrut karena kena krisis ekonomi 1997. Sebab, kebutuhan yang semula diperkirakan tinggi ternyata hanya 50 ribu ton. Padahal, ini bisa feasible kalau kebutuhannya 75 ribu ton. Di Garudafood pun, penjualan saya sempat menurun 10-15 persen, yaitu pada 2002 ketika produk makanan sejenis banyak yang masuk pasaran. Persaingan begitu ketat dan kami tak antisipasi. Padahal, dalam sejarah tidak pernah kami turun.

Gonjang-ganjing politik tak mengganggu bisnis Anda?
Sejauh ini tidak. Justru waktu kerusuhan Mei 1998, pertumbuhan kami pesat. Saat itu banyak pemasok yang berhenti, sedangkan kami justru terus suplai.

Bagaimana rencana ekspansi ke depan?
Tahun depan akan banyak ekspansi. Targetnya, 2008-2009, saya sudah tidak sebagai CEO lagi, mungkin chairman saja. Sampai lima tahun ke depan ini, kami mentargetkan meraih lima merek terbaik, sekarang baru kacang dan jeli. Kami juga barharap bisa masuk lima besar produsen makanan dan minuman dan masuk jajaran lima pemilik penerimaan terbesar. Jadi 2008, targetnya meraih penerimaan Rp 5 triliun. Artinya kami harus tumbuh 35 persen per tahun.

Tidak ada rencana menjadikan perusahaan ini masuk bursa?
Pada 2007 kami berharap sudah bisa go public. Karena kalau mau tumbuh 35 persen per tahun, butuh investasi banyak, sekitar Rp 1 triliun. Itu butuh sumber pendanaan yang bervariasi, tidak cuma dari operasional perusahaan, bank, dan pasar uang atau obligasi, tetapi juga dari saham.

Bagaimana perasaan Anda melihat perkembangan perusahaan sekarang?
Saya sekarang merasa puas karena tiga hal. Pertama, omzet Garudafood naik dari Rp 18 miliar menjadi Rp 1,3 triliun. Kedua, sekarang dalam proses transfer dari tradisional atau keluarga menjadi perusahaan kelas dunia dalam arti manajemen sistem, bukan dari skalanya. Ketiga, saya merasa tim Garudafood sudah mulai terbentuk, berbagai fungsi sudah diisi oleh orang-orang yang mumpuni.

Apakah Anda menyiapkan anak untuk melanjutkan perusahaan ini?
Tidak, anak saya nanti diberikan mainan lain. Mereka masih sekolah. Yang paling besar saja, perlu waktu lima tahun lagi untuk bekerja.

Anda sempat membagi waktu dengan keluarga?
Saya memanfaatkan waktu dengan keluarga pada hari Minggu dan kegiatan sosial pada Sabtu. Dengan keluarga biasanya bercengkerama di rumah, kalau sama anak laki-laki main biliar, sama yang perempuan saya biasanya disuruh dalang. Kalau siang keluar makan bersama. Saya juga sempat olahraga golf. anne handayani/heri susanto

No comments:

Post a Comment