Cari Berita berita lama

KoranTempo - Harun Al Rasyid, Gubernur Setengah Hati

Kamis, 27 Juni 2002.
Harun Al Rasyid, Gubernur Setengah HatiSebelum menjadi Gubernur NTB, Harun Al Rasyid menjabat posisi wakil gubernur di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Kariernya semakin menanjak, dan sebagai putra yang berasal dari daerah Bima, oleh pemerintah Harun Al Rasyid dilantik menjadi Gubernur NTB, dan hingga saat ini masih memiliki masa dinas kurang lebih satu setengah tahun lagi.

Namun, kita sungguh dikagetkan oleh berita di media massa bahwa Harun Al Rasyid sangat bernafsu untuk menjadi Gubernur DKI Jakarta setelah periode Gubernur Sutiyoso berakhir. Bahkan kalau tidak salah, Harun Al Rasyid sudah mendaftarkan diri sebagai bakal calon Gubernur DKI Jakarta periode mendatang ini.

Wah, ini bagaimana, ya? Contoh apa yang dapat diambil dan diserap oleh generasi penerus dari perbuatan pemimpin kita seperti ini?

Bukankah ini mengisyaratkan bahwa Harun Al Rasyid tidak mensyukuri dan tidak senang menjadi Gubernur NTB? Bukankah ini suatu sikap yang dapat menyakiti, bahkan akan melukai perasaan dan hati nurani masyarakat NTB? Karena hal ini juga akan berkonotasi bahwa Harun Al Rasyid tidak menyenangi warga masyarakat NTB, dan bahkan lebih mencintai kota Jakarta dengan penduduk yang sangat heterogen dan jumlahnya belasan juta jiwa?

Suatu gambaran sikap yang kurang layak, karena terkesan sangat rakus, dan tidak bersyukur. Bahwa Harun Al Rasyid menjadi Gubernur NTB pun adalah kedudukan terhormat, dan merupakan amanah rakyat yang aspirasinya disampaikan melalui DPRD di NTB.

Bila amanah ini diterima, haruslah diemban dengan penuh tanggung jawab hingga masa jabatan yang diamanahkan itu berakhir.

Jadi, bila pembangunan daerah NTB nyatanya tidak berkembang, ya, memang tidak perlu dipersoalkan. Sebab, sudah jelas bahwa fisik Gubernur Harun Al Rasyid ada di NTB, namun pikiran, energi, dan seluruh strateginya terpusat di DKI Jakarta.

Pantas enggak nyambung pembangunannya, dan nggak usah heran! Mungkin Harun Al Rasyid perlu mengingat selalu bahwa di mana bumi diinjak, di situ pulalah langit dijinjing.

Pasti akan lebih bermanfaat bagi seluruh warga di Provinsi NTB dan lebih berarti dalam catatan sejarah kehidupan pribadi Bapak, bila Bapak Harun Al Rasyid sebagai Gubernur NTB secara fokus membangun daerah NTB dalam arti seluas-luasnya, sebagai bukti kepiawaian Bapak menjadi pemimpin pemerintahan di Provinsi NTB.

Bukankah ini yang seharusnya Bapak laksanakan, dan semoga pula ini menjadi amal ibadah nyata dari Bapak Harun Al Rasyid yang berkenan bagi Allah SWT, insya Allah.

M. Yusuf
Warga DKI Jakarta

Kontroversi SBKRI

Begitu Piala Thomas kembali diboyong ke Indonesia, spontan para pemainnya didaulat bak pahlawan negara ini. Bonus berlimpah, puja-puji menggelegar bagi mereka, pengharum bangsa dan negara. Maka, masalah Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) yang masih kusut masai bagi sebagian pemain badminton itu mencuat ke permukaan.

Tidak tanggung-tanggung pula Presiden turun tangan membantu mengatasinya. Pastilah sekarang sudah selesai. Buat mereka yang dulunya para pemain bulutangkis itu yang katanya terpaksa ngendon ke negara lain sebagai pelatih, misalnya, seharusnya jangan menyalahkan masalah SBKRI sebagai penyebabnya. Mungkin rasa nasionalis kalbu mereka memang sudah menipis, atau mereka lebih mengejar materi yang jauh lebih menarik dari materi yang bisa ditawarkan negara ini.

Tapi, soal SBKRI memang kelihatannya memiliki dua sisi yang berbeda. Sisi pertama, Menteri Kehakiman dan HAM menyatakan, di departemennya sudah lama tidak lagi menerbitkan SBKRI (tidak diperlukan lagi), dan mereka yang mengajukannya "ke sini" akan kami tolak.

Sisi kedua, di gedung tempat sang menteri bekerja dan berkarya di salah satu lantainya masih ada bagian yang khusus mengurusi SBKRI. Apakah pernyataan dan kenyataan itu bukan menghadirkan perbedaan yang bak langit dan bumi. Hal tersebut ditambah lagi dengan pernyataan salah seorang direktur departemen bersangkutan, "Pengurusan SBKRI tidak memberatkan, karena tidak ditarik biaya alias gratisan. Prosesnya juga cuma tiga bulan alias 90 hari. Saya capek teken tidak dibayar, saya heran di koran katanya dikomersialkan, tidak ada itu."

Apakah itu juga bukan memberikan arti lain bagi pernyataan sang menteri, bukan cuma ada pembayaran atau tidak. Sang direktur mungkin benar 100 persen, tapi apakah benar demikian bagi pemohon surat yang menurut dedengkot perbulutangkisan negara ini mencerminkan masih adanya diskriminatif, tidak rasional, dan tidak manusiawi itu dapat diperoleh tanpa mengeluarkan uang satu persen pun.

Jangankan SBKRI yang memiliki nilai teramat penting. Soal mati-hidupnya seseorang yang sudah secara bulat-bulat memiliki nilai teramat penting, atau yang memilih hidup sebagai warga negara ini untuk memperoleh KTP saja (yang katanya gratis), untuk mendapatkannya masih juga harus ada sisipan berupa angpau.

Karena itu, sudahkah benar direalisasi tindakan atau janji sang menteri untuk penyelesaian masalah SBKRI tersebut? Sebab, SBKRI itu bukan cuma diperlukan orang-orang kaya yang umumnya sangat mudah bisa membayar berapa pun untuk memperolehnya, tapi juga bagi mereka yang tergolong miskin dan susah, untuk mempermulus menyekolahkan anak-anak mereka.

Kita tahu, sekolah juga universitas pada saat-saat dimulainya tahun pelajaran baru ini masih banyak yang mensyaratkan kejelasan status kewarganegaraan anak-anak mereka, yang katanya harus jelas dalam hukum.

Taufik Karmadi
Cengkareng, Jakarta

No comments:

Post a Comment