Kamis, 23 Mei 2002.
Ekspor Pasir Laut Diatur Keputusan PresidenJAKARTA - Kebijakan perdagangan, ekspor, dan pengawasan pasir laut di Riau akhirnya dikeluarkan melalui Keputusan Presiden. Padahal, banyak pihak mengharapkan diatur dalam peraturan pemerintah yang jangkauannya lebih luas.
Menurut Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rini M.S. Soewandi, pihaknya sudah membahas bersama intansi terkait lainnya di Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. Hasilnya, kebijakan itu diatur melalui keppres.
Kendati demikian, katanya kemarin, kebijakan ini mencoba secara detail mengatur masalah perdagangan pasir laut. Masalah ekspornya juga diatur serta pola pengawasannya guna mencegah kerugian, baik materi maupun lingkungan.
"Mestinya tadi (kemarin) malam keppres itu ditandatangani atau paling lambat tadi (kemarin) pagi oleh presiden," ujarnya di Jakarta.
Lebih lanjut dia menjelaskan, aturan pasir laut melalui keppres lantaran dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup tidak ada perintah perlunya peraturan pemerintah mengenai pasir laut. Hanya, dalam UU Otonomi Daerah, mungkin saja diatur. "Keppres tidak apa-apa, yang penting pengaturannya seperti yang kami harapkan."
Gubernur Riau Saleh Djasit yang ditemui terpisah mengaku lebih menyukai kebijakan itu diatur dalam pertauran pemerintah ketimbang keppres. Alasannya, statusnya lebih kuat daripada keppres dan tidak mudah berubah.
"Kalau pemerintah mengeluarkan kepres, ya kita harus ikuti. Yang penting isinya sesuia dengan undang-undang yang ada," ujarnya.
Sebagai contoh, kata Saleh, kewenangan tetap di daerah tidak diubah, seperti masalah perizinan dan kewenangan eksploitasi. Kalau materinya tetap menghormati kewenangan masing-masing, dan bisa dilaksanakan. "Yang penting isinya."
Soal perlunya undang-undang seperti usulan Fraksi Reformasi DPR RI, dia berpendapat, masalahnya terlalu spesifik. Pasir laut yang laku diekspor hanya berasal dari Riau. Lagi pula, kegiatan ini bersifat kontemporer, tidak selamanya. "Kenapa harus repot banget buat undang-undang. Saya kira PP saja sudah cukup."
Dia juga menekankan pentingnya pengawasan agar kerugian negara akibat kegiatan ilegal tidak terulang kembali. Karena itu, aturan baru mewajibkan sekitar 10 persen pendapatan pengusaha untuk bidang pengawasan. Masalah pengawasan adalah tugas instansi penegakan hukum yang menjadi kewenangan pusat.
Sebelumnya, Wakil Ketua Fraksi Reformasi DPR Afni Achmad mengatakan, sebanyak 90 persen kegiatan ekspor pasir laut di Riau tidak tercatat alias ilegal. Akibatnya, kerugian negara mencapai senilai Sin$ 1,765 miliar atau sekitar Rp 9 triliun sejak 1978 hingga 2001.
Berdasarkan observasinya di lapangan, hingga tahun ini, Singapura membutuhkan pasir laut 300 juta meter kubik dengan nilai Sin$ 1,8 miliar. Namun, yang tercatat hanya 28-75 juta meter kubik senilai Sin $34,16 juta.
Singapura sendiri membutuhkan pasir laut hingga 2010 mencapai 1,8 miliar meter kubik. Malaysia juga membutuhkan sebanyak 525 juta meter kubik.
"Banyak yang bermain sini karena potensi pasir laut di Riau mencapai 1,2 triliun meter kubik," ujarnya. syakur usman
No comments:
Post a Comment