Jumat, 23 Juni 2006.
UU Peradilan Militer, Nafsu Besar Tenaga Kurang
M. Rizal Maslan - detikcom
Jakarta -
Pemberlakuan RUU Peradilan Militer dipandang pemerintah belum realistis. Departemen Pertahanan (Dephan) meminta DPR tidak memaksakannya.
"Yang realistis itu kalau iklim psikologi dan pendanaanya sudah ada, logistik peradilannya dan perangkatnya sudah bisa berjalan. Baru kita laksanakan, jangan cuma nafsu besar tenaga kurang," jelas Menhan Juwono Sudarsono usai di kantor Dephan, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta, Jumat (23/6/2006).
Pansus RUU Peradilan Militer juga kemungkinan mengalami deadlock pembahasan. Menhan menjelaskan, pihaknya akan menyampaikan bahan pembanding kepada Presiden SBY sebagai pertimbangan jika bertemua dengan Pansus.
DPR tetap bersikukuh prajurit TNI yang melakukan tinda kpidana umum harus disidang di peradilan umum. Sementara, Dephan dan TNI meminta itu dilakukan oleh peradilan militer, mengingat perangkatnya belum ada dan KUHAP Militer belum diubah.
"Tidak ada kewenangan dari jaksa penuntut umum untuk mengadili prajurit TNI aktif secara perorangan, yang ada adalah koneksitas," tegas Juwono.
Juwono menyetujui rencana tiga tahun masa transisi diberlakukannya UU Militer seperti ditawarkan oleh DPR. Dia setuju asalkan sudah ada KUHAP Militer yang mengarah diberlakukannya jaksa penuntut peradilan militer.
Sebenarnya menurut Juwono, masa transisi tiga tahun sudah cukup. Yang terpenting bukan undang-undangnya, tapi layak atau tidak dilaksanakan di lapangan.
Juwono meminta semua kalangan memperhatikan sisi psikologi aparat sipil yang akan menyidik prajurit, jika UU Peradilan Militer diberlakukan.
"Setiap aparat pemerintah banyak yang tidak siap, anggaran yang kurang dari separuhnya dari yang dibutuhkan. Jadi saya katakan kalau mau benar-benar, realistis lah, jangan formalistis," tandas Juwono.
(
fay
)
No comments:
Post a Comment